Sunday, April 13, 2008

Transparansi Statistik Ekonomi

Analisis terhadap sektor riil perekonomian Indonesia selama ini mengandalkan data statistik yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS menjadi sumber data sekunder bagi penelitian ilmiah, perencanaan kebijakan, dan evaluasi kinerja pemerintah. Reliabilitas data BPS merupakan syarat bagi kesahihan seluruh premis dan kesimpulan dari analisis ekonomi yang menggunakannya.

Karena peranan data BPS yang sangat besar, tiap tuduhan atas ketidaksahihan data BPS merupakan tuduhan yang sangat serius. Jika tuduhan tersebut benar, maka tiap kesimpulan analisis ekonomi yang menggunakan data BPS akan kehilangan pijakan. Besarnya kerugian yang menjadi konsekuensi diterimanya tuduhan membuat kita lebih suka untuk tidak mempercayai tuduhan tersebut.

Keraguan terhadap data BPS
Diskusi mengenai metode pengumpulan data BPS sempat memanas ketika TIB meragukan data yang dipaparkan dalam pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus 2006.

Perbedaan antara situasi masyarakat yang ditemui TIB dengan apa yang dinyatakan BPS mendorong pada dugaan pada dua kemungkinan: temuan BPS tidak dapat dipercaya, atau BPS telah memanipulasi pengukurannya agar menghasilkan angka yang diinginkan Pemerintah.
Dua pernyataan yang saling bertentangan ini perlu diteliti. BPS secara resmi mengeluarkan pernyataan dan menerangkan metodologi yang mereka pakai. Metodologi penyampelan BPS biasanya sudah direncanakan dengan cermat.

Sebagaimana pembuktian terbalik dalam kasus korupsi, BPS harus dapat membuktikan bahwa dirinya bersih dari apa yang dituduhkan oleh TIB. Dengan kata lain, BPS harus senantiasa mampu membuktikan bahwa data dan pernyataan yang mereka kemukakan ke publik telah benar.

Untuk memperkuat kepercayaan terhadap data yang mereka terbitkan, BPS perlu mendapat konfirmasi dari banyak pihak akan kesahihan data mereka. Konfirmasi memerlukan kemampuan orang lain untuk menelusuri dan mereplikasi proses pengumpulan dan pengolahan data yang dilakukan BPS. Apabila hasil replikasi oleh pihak ketiga mengkonfirmasi statistik yang diterbitkan BPS, mereka akan terbebas dari segala tuduhan penyelewengan. Replikasi dapat dilakukan pada skala yang lebih kecil, seperti quick count pada saat Pemilu.

Pencantuman definisi dan metodologi pada terbitan BPS belum cukup membuka kemungkinan semua pihak untuk melakukan pengecekan dan replikasi tersebut. Kedua hal tersebut memerlukan kemudahan akses pada data-data survey dari mana data agregat disarikan.

Selama ini BPS hanya mempublikasikan data-data agregat dengan buku-buku statistik tercetak maupun dimuat di atas situs internet mereka. Masyarakat bebas mengakses data agregat ini dengan membeli buku statistik terbitan BPS atau menyalin dari situs BPS.
Akan tetapi data agregat tidak transparan. Tidak ada peneliti yang dapat mengecek kebenaran data agregat tersebut. Survey terpisah untuk menghasilkan statistik pembanding bagi statistik BPS akan membutuhkan biaya sangat besar. Pengulangan survey untuk keperluan konfirmasi kebenaran data BPS merupakan pemborosan.

Cara alternatif untuk mengecek kebenaran statistik BPS adalah dengan menelusuri proses pengolahan data dari sumbernya, yakni data mentah dari kuesioner hasil survey. Sayangnya, BPS tidak memberikan kemudahan akses kepada data hasil survey dari mana data-data agregat tersebut diperoleh. Untuk memperoleh data survey tersebut, kita harus membayar sangat mahal. BPS seakan-akan mengkomersialkan data survey tersebut untuk memperoleh pemasukan.

Pengenaan harga tinggi terhadap data survey tersebut tidak memiliki alasan yang masuk akal. Penerimaan dari penjualan data survey tidak sebanding dengan biaya survey dan tidak secara signifikan berkontribusi pada penerimaan negara. Justru, akses dan jual-beli tidak resmi atas data survey muncul karena harga tinggi tersebut tidak sebanding dengan kemampuan data untuk diproteksi.

BPS sebaiknya mencontoh RAND institute yang menyediakan data Survey Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) secara cuma-cuma. Dengan digratiskan, banyak peneliti yang dapat mengecek dan mereproduksi statistik yang dikeluarkan BPS sehingga dapat mendukung kebenarannya.

Manfaat Penggratisan Data Survey
Penyediaan data survey secara gratis tidak hanya meningkatkan kredibilitas BPS, melainkan juga akan memajukan kualitas penelitian dan analisis ekonomi. Penggunaan data survey mengatasi banyak persoalan yang biasa ditemui dalam analisis terhadap data agregat. Peneliti akan memperoleh informasi dan pilihan variabel yang lebih banyak.
Hasil penelitian ekonomi yang meningkat kualitasnya akan memberikan masukan-masukan yang penting bagi evaluasi dan perumusan kebijakan ekonomi. Kebijakan pemerintah dapat menjadi lebih efektif dan tepat sasaran. Kemungkinan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang keliru akan mengecil. Pemborosan anggaran negara dan kerugian masyarakat akibat kebijakan yang keliru dapat semakin dihindari. Secara keseluruhan, kesejahteraan masyarakat akan meningkat karena peningkatan kualitas penelitian ekonomi ini.

Potensi manfaat peningkatan kemudahan akses pada data survey BPS jelas jauh lebih besar daripada penerimaan hasil penjualan data yang akan hilang. Dampak neto dari perubahan aturan ini adalah kesejahteraan masyarakat akan lebih baik daripada sebelumnya

Thursday, April 10, 2008

Selamatkan Aset Rakyat Miskin dengan Meregulasi Lembaga Keuangan Mikro

Krisis finansial kembali membawa ekonomi dunia pada resesi. Krisis ini menguatkan rekomendasi anti-liberal untuk memperketat regulasi pada pasar uang dan perbankan. Walaupun pasar uang lebih banyak melibatkan uang milik masyarakat lapis menengah ke atas, krisis di pasar uang dapat berimbas pada masyarakat menengah ke bawah melalui pengaruhnya pada investasi riil dan konsumsi yang berujung pada penyempitan lapangan kerja.

Akan tetapi, kita seharusnya lebih (paling tidak sama) peduli terhadap bencana finansial yang menimpa masyarakat miskin. Dengan minimnya pendidikan dan informasi, masyarakat miskin sering menjadi korban penipuan dan kesalah-pengelolaan lembaga keuangan mikro (LKM). Di sisi lain, pengawasan dan pengaturan terhadap LKM sangat minim, dibandingkan dengan terhadap perbankan dan pasar uang. Departemen Koperasi yang seharusnya mengemban fungsi tersebut minim kemampuan dan minat untuk menjalankannya.

Bank Indonesia lebih memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsi tersebut. Namun, hingga saat ini undang-undang tidak memberi BI tanggung jawab untuk menjalankannya.

Hasilnya, berita hilangnya uang nasabah akibat dilarikan oleh pemilik/pengelola atau karena kecerobohan pengelolaan sering kita dapati di media. Walaupun berstatus LKM, institusi yang bermasalah tersebut seringkali telah melibatkan dana nasabah milyaran rupiah.

Sebagaimana yang berlaku di sektor perbankan, permasalahan di satu LKM juga menimbulkan eksternalitas negatif ke LKM lainnya. Masyarakat menjadi tidak mempercayai keamanan LKM. LKM semakin kesulitan untuk memperoleh dana simpanan. Dampak selanjutnya, usaha kecil dan mikro (UKM) sulit memperoleh dana untuk pengembangan usaha mereka. Padahal, peran UKM dalam menyerap tenaga kerja jauh lebih besar daripada perusahaan besar yang mendapatkan dana dari perbankan dan pasar uang.

Simpanan nasabah LKM lebih mendesak untuk diselamatkan daripada simpanan nasabah perbankan. Karena itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) semestinya juga memberikan jaminan bagi simpanan masyarakat di LKM.

Wednesday, April 9, 2008

Minyak untuk Pangan

Sebagaimana dalam postingan saya di Komentar Ekonomi berjudul Urgensi Kenaikan Harga BBM, subsidi BBM harus segera dikurangi, baik dengan cara kenaikan harga atau pembatasan subsidi. Saya lebih menekankan pada ke mana dana subsidi tersebut dialihkan. Pengalihan dana subsidi untuk membangun infrastruktur baru memberikan hasil pada jangka panjang. Masyarakat akan merasa worse-off dalam jangka pendek sehingga cenderung menolak kebijakan pengurangan subsidi tersebut.

Pengalihan subsidi harus memenuhi beberapa kriteria:
1. Manfaat dirasakan segera
2. Penerima manfaat terutama adalah masyarakat yang paling sensitif terkena dampak kenaikan BBM
3. Mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang

Gagasan Chatib Basri untuk mengalihkan subsidi BBM ke subsidi pangan adalah sangat brilian. Namun sekedar mengalihkan pada subsidi pangan tidak mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tanpa perbaikan sisi penawaran, subsidi pangan hanya mendorong permintaan dan akan kembali membawa anggaran negara pada perangkap subsidi, hanya saja kali ini pada subidi pangan bukan subsidi BBM.

Gagasan tersebut telah menembak sasaran yang tepat, yakni komoditas pangan. Subsidi pangan bersifat regresif secara absolut maupun relatif terhadap pendapatannya. Rakyat miskin akan mendapatkan subsidi terbesar karena mereka mengkonsumsi jenis komoditas kualitas rendah yang menjadi target subsidi. Belanja makanan juga merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rakyat miskin. Semakin kaya seseorang, porsi pangan terhadap pendapatan menjadi semakin kecil. Kualitas jenis makanannya pun akan membaik, sehingga lebih sedikit mengkonsumsi jenis makanan yang disubsidi.

Pemerintah tinggal memodifikasi agar subsidi tersebut juga mendorong pertumbuhan produksi pangan domestik. Marjin laba sektor pangan merupakan insentif utama untuk meningkatkan produksi. Dalam jangka pendek, subsidi dapat menjembatani kepentingan konsumen untuk mendapat pangan murah dengan kepentingan produsen untuk memperoleh marjin laba cukup.

Dalam jangka panjang, pembangunan sektor pangan harus mampu menurunkan ongkos produksi pangan dan mengurangi rente yang saat ini dinikmati oleh pelaku saluran distribusi. Dengan demikian, harga pangan akan tetap murah tanpa mengurangi marjin laba yang dinikmati produsen.

Kebijakan ini melibatkan redistribusi yang cukup signifikan. Sebagaimana analisis Khudori, saat ini penyalur pangan menikmati surplus terbesar dengan diimbangi kerugian pada konsumen dan produsen. Surplus ini perlu diredistribusi dari penyalur ke produsen dan konsumen. Redistribusi ini dapat berbentuk regulasi harga, pembenahan struktur pasar, serta penguatan daya tawar produsen dan konsumen.

Untuk mengurangi biaya produksi, pemerintah perlu membantu petani untuk meningkatkan skala produksi. Rasio lahan per pekerja sektor pertanian dapat ditingkatkan dengan membuka lahan baru dan memberikannya pada petani gurem. Untuk pulau Jawa, pemerintah tidak akan dapat mencegah laju konversi lahan pertanian menjadi pemukiman karena populasi memang terpusat di pulau Jawa dan terus tumbuh cepat. Lahan baru hanya dapat dibuka di pulau-pulau luar Jawa. Pemerintah dan para ahli perlu bekerja sama untuk mengkaji potensi ekonomi dan biaya ekologis dari kebijakan tersebut.

Pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan mendesak dilakukan. Para ahli pertanian perlu menemukan solusi atas penyediaan pangan dan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa pengembangan biofuel justru dapat berdampak neto lebih buruk pada pelepasan karbon. Walaupun emisi karbon dari biofuel lebih rendah, konversi hutan ke ladang tanaman bahan baku biofuel telah mengurangi penyerapan karbondioksida.

Sebagian subsidi BBM dapat dialihkan untuk mendorong pengembangan teknologi pertanian ini. Kalau peneliti dari Indonesia tidak mampu menghasilkan temuan yang diperlukan, pemerintah dapat menggaji peneliti asing atau membeli paten dari luar negeri.

Selain untuk pangan, subsidi BBM dapat pula dialihkan untuk memperluas akses rakyat miskin pada pendidikan dan kesehatan. Untuk sektor pendidikan, subsidi sebaiknya ditargetkan kepada individu bukan institusi sekolah. Hingga saat ini sekolah yang telah mendapat subsidi dari pemerintah tetap tidak menghentikan pungutan biaya pada siswa. Kalaupun subsidi diberikan pada sekolah, harus ada larangan tegas (berkonsekuensi sanksi bagi pelanggar) bagi sekolah tersebut untuk memungut biaya tambahan dari siswa.

Di sektor kesehatan, Askeskin sangat membutuhkan dana tambahan untuk membayar klaim rumah sakit. Tunggakan Depkes pada rumah-rumah sakit telah sangat besar sehingga banyak rumah sakit tidak mau menerima pasien Askeskin. Kucuran dana pengalihan subsidi BBM ke Askeskin akan menyelamatkan banyak nyawa. Kesehatan merupakan investasi SDM untuk menjaga kualitas tenaga kerja. Untuk jangka panjang, kita perlu memikirkan rancangan kelembagaan sektor kesehatan agar mampu memberikan layanan berkualitas dengan biaya terjangkau.

Wednesday, March 12, 2008

Metode Pembayaran Tetap pada Layanan Kesehatan

Artikel ini menindaklanjuti permasalahan yang diungkap artikel pada blog Komentar Ekonomi berjudul "Moral Hazard Layanan Kesehatan". Artikel ini berisi gagasan mengenai penerapan metode pembayaran tetap untuk layanan kesehatan.

Tindakan dokter yang secara sosial optimum adalah memberikan perawatan yang mendatangkan kesembuhan dengan biaya minimum. Untuk mendorong dokter melakukan tindakan tersebut, mekanisme pembayaran harus membuat proses optimalisasi utilitas dokter adalah minimisasi biaya, bukan maksimumkan pendapatan. Namun biaya tersebut juga harus berkaitan dengan sakitnya pasien. Semakin lama pasien sakit, semakin besar pula biaya yang ditanggung dokter.

Pasien sendiri juga harus menghadapi biaya yang semakin meningkat ketika sakit semakin lama. Jika biaya (nominal) marjinal dari sakit yang semakin lama adalah nol, maka pasien sendiri kurang memiliki insentif untuk mempercepat kesembuhannya. Namun demikian, biaya nominal marjinal bagi pasien ini kurang diperlukan daripada bagi dokter karena pasien telah menghadapi disinsentif berupa sakit itu sendiri.

Salah satu contoh sistem insentif yang memenuhi prinsip-prinsip di atas adalah berikut. Dokter (dan rumah sakit) mendapatkan bayaran tetap untuk tiap jenis penyakit yang disembuhkan, berapapun banyaknya waktu perawatan dan obat yang diperlukan. Mereka hanya mendapatkan bayaran setelah kesembuhan.

Jika mereka tidak sanggup menyembuhkan sendiri, mereka bisa transfer ke dokter atau rumah sakit lain dengan menegosiasikan sendiri berapa bagian pembayaran yang menjadi milik pentransfer dan penerima transfer.

Semua rumah sakit atau klinik memasang tarif per penyakit yang saling bersaing. Pasien dapat memilih rumah sakit/klinik yang memberikan kombinasi layanan dan harga yang sesuai dengan preferensinya.

Bagaimana cara mewujudkan gagasan di atas? Apakah perlu regulasi dari pemerintah atau cukup inisiatif swasta?

Ketika ada pihak swasta yang membuat klinik dengan sistem pembayaran tetap di atas, mereka akan bertahan jika terdapat cukup konsumen layanan kesehatan yang memilih klinik dengan metode pembayaran tersebut dibanding dengan metode konvensional. Rumah sakit dan klinik lain akan merubah metode pembayaran mereka dengan metode baru tersebut jika sebagian besar konsumen lebih menyukai metode baru tersebut.

Metode pembayaran tetap akan menarik bagi penderita penyakit yang sudah parah, karena ongkos rata-rata per perawatan di metode ini akan lebih murah dari di metode pembayaran konvensional. Sebaliknya, metode pembayaran tetap akan relatif mahal bagi pasien yang belum terlalu parah. Untuk mencegah adverse selection, tarif tiap penyakit sebaiknya dibedakan menurut stadium/ tingkat keparahannya.

Klinik dengan metode pembayaran tetap dapat memperkirakan tarif tiap penyakit dengan terlebih dulu memperkirakan rata-rata tingkat perawatan yang diperlukan oleh tiap jenis penyakit pada masing-masing stadium dan biaya per tingkat perawatan tersebut. Harga akhir juga harus mempertimbangkan harga pasar layanan ini, dengan mengalikan rata-rata tingkat perawatan per penyakit yang berlaku (mencakup efek dari moral hazard) kepada harga pasar per tingkat perawatan.

Rata-rata jumlah pembayaran pada metode baru akan kurang dari rata-rata jumlah pembayaran pada metode konvensional karena metode baru telah mengeliminasi efek moral hazard. Dihadapkan pada ketidakpastian pembayaran pada klinik metode konvensional, dengan kecenderungan lebih besar untuk jumlah pembayaran yang lebih tinggi daripada metode baru, pasien akan memilih klinik dengan metode pembayaran tetap.

Dengan demikian, klinik yang menerapkan metode pembayaran tetap akan memenangi persaingan. Klinik lain akan terdorong untuk mengganti metode pembayarannya ke sistem tetap atau memodifikasi pembayaran variabel-nya agar tidak lagi membawa pada moral hazard. Modifikasi itu sendiri tidak akan berjalan tanpa tekanan eksternal seperti regulasi dan persaingan dari metode pembayaran tetap.

Saya mengajak pembaca untuk membuat klinik dengan metode pembayaran tetap seperti di atas. Paling tidak, kita bisa menemukan orang lain yang memiliki kemampuan untuk membuat klinik tersebut.

Sunday, March 2, 2008

Subsidi BBM atau Subsidi Lain?

Selama ini kita terjebak pada debat kusir kenaikan harga BBM. Sayap kiri akan langsung menuduh pemerintah tidak berpihak pada rakyat kecil jika menaikkan harga BBM. Kalangan ini melihat bahwa kebijakan subsidi BBM adalah kebijakan pro rakyat kecil. Pengurangan subsidi BBM merupakan kebijakan yang merugikan rakyat kecil.

Saya melihat bahwa yang dipersoalkan bukanlah besarnya subsidi, melainkan harga domestik BBM. Seandainya harga minyak dunia turun namun pemerintah mempertahankan harga domestik BBM sehingga belanja subsidi BBM turun, saya yakin tidak akan ada penentangan. Sayangnya, harga minyak dunia cenderung terus menaik dengan semakin habisnya cadangan minyak dunia dan meningkatnya permintaan karena pertumbuhan ekonomi dunia.

Sebaiknya kita mulai dari pertanyaan dasar, mengapa perlu ada subsidi BBM? Atau sebaliknya kita dapat juga menanyakan, mengapa subsidi BBM perlu dikurangi?

Tiap penyusunan anggaran, pemerintah memperkirakan berapa besarnya pendapatan yang mampu mereka peroleh. Setelah itu, pemerintah merencanakan pengeluaran berdasarkan prioritas dan kebutuhan.

Belanja rutin biasanya perlu dialokasikan terlebih dulu, karena bersifat mempertahankan operasi yang telah berjalan. Langkah penghematan masih dapat dilakukan, tetapi tidak dapat sekaligus dalam jumlah besar.

Termasuk dalam belanja rutin ini adalah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang. Alokasi utang ini hanya dapat dipangkas jika sebelumnya pemerintah dapat membuat kesepakatan dengan kreditur untuk menunda pembayaran atau mendapatkan keringanan.

Tinggallah sisa anggaran yang dapat digunakan untuk berbagai macam program. Pada prioritas ke berapa subsidi BBM sebaiknya diletakkan? Mana yang lebih prioritas, subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi pangan, subsidi kesehatan?

Pertanyaan pilihan prioritas di atas tidak dapat dihindari dengan mengatakan bahwa semua harus dilakukan oleh pemerintah; bahwa pemerintah harus mengusahakan uang negara yang dikorupsi kembali; bahwa pemerintah harus bisa menarik pajak dari orang-orang kaya hingga cukup untuk membiayai semua subsidi tersebut; dll.

Kalaupun pada akhirnya pemerintah bisa melakukan semua hal di atas, keputusan prioritas terhadap berbagai alternatif subsidi tersebut tetap harus diambil hari ini, tidak bisa menunggu semua yang tercantum dalam "daftar yang harus dilakukan pemerintah" itu selesai dikerjakan. Saat ini juga, pemerintah harus memutuskan berapa uang yang akan diberikan kepada Pertamina untuk subsidi minyak, kepada Bulog untuk subsidi pangan, dan kepada Depdiknas untuk subsidi pendidikan.

Kebijakan subsidi minyak dan pangan memiliki efek lebih besar terhadap inflasi. BBM merupakan input di hampir semua proses produksi. Karena itu, kenaikan harga BBM akan diikuti oleh harga berbagai macam barang dan jasa pada tingkat yang bergantung pada porsi BBM dalam struktur biaya produksi mereka.

Bahan pangan juga banyak menjadi input produksi, namun tidak seluas minyak. Walau demikian, kenaikan bahan pangan mendorong pekerja untuk meminta kenaikan upah. Peran yang lebih besar dari bahan pangan terdapat pada konsumsi rumah tangga berpendapatan rendah. Kenaikan harga bahan pangan menyebabkan semakin banyak rumah tangga jatuh dalam kemiskinan.

Perubahan harga pendidikan tidak mendorong kenaikan harga barang dan jasa lain. Namun pendidikan menentukan kondisi ekonomi anggota rumah tangga di masa depan. Mobilitas ekonomi rumah tangga tergantung dari investasi pendidikan ini.

Pengeluaran rumah tangga untuk BBM non minyak tanah lebih kecil daripada pengeluarannya untuk makanan. Karena itu, efek kenaikan harga BBM lebih banyak secara tidak langsung melalui kenaikan harga kebutuhan. Efek kenaikan harga BBM yang tidak langsung dan tidak adanya dampak positif jangka panjang subsidi BBM pada kesejahteraan membuat subsidi BBM layak menjadi prioritas terakhir.

Berdasar analisis di atas, saya merekomendasikan agar pemerintah tidak perlu ragu mengalihkan porsi anggaran dari subsidi BBM ke subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan. Jika keberatan dari pengalihan subsidi semacam ini adalah pada kelemahan identifikasi warga yang berhak menerima, maka subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan bisa berbentuk subsidi harga pada jenis pangan, pendidikan, dan kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar.

Thursday, February 28, 2008

Isu Ekonomi Terpanas untuk Pemilu 2009

Saya baru saja mencari lewat google daftar partai politik pemilu 2009. Saya ingin tahu program-program ekonomi partai tersebut. Apakah mereka telah memiliki tawaran kebijakan yang lebih baik daripada rezim sekarang? Jika tidak, lebih baik SBY dan tim ekonominya sekarang dipilih lagi.

Melihat pengalaman pemilu lalu, saya pesimis pemilu 2009 yang sudah menjelang akan diwarnai kompetisi ide kebijakan ekonomi. Para politisi tahu bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak mempedulikan apakah parpol menawarkan perubahan kebijakan yang menguntungkan mereka dan juga realistis. Rakyat lebih peduli figur yang diusung parpol.

Anyway, saya masih memiliki harapan akan adanya pendewasaan cara berpolitik. Untuk itu, saya menawarkan pada semua partai untuk saling berkompetisi memberikan solusi pada isu-isu ekonomi terpanas berikut.

1. Stabilisasi harga pangan
Saya lebih memilih stabilisasi harga pangan daripada kemandirian pangan, walau keduanya berkorelasi pada waktu-waktu tertentu. Fluktuasi harga pangan paling memukul rakyat berpendapatan rendah. Kenaikan harga pangan selalu menciptakan jutaan orang miskin baru,

2. Kebijakan harga BBM
Buah simalakama antara kenaikan harga BBM dan melambungnya pengeluaran negara untuk subsidi BBM senantiasa muncul tiap terjadi kenaikan harga minyak internasional. Selama ini, pemerintah terkesan tidak konsisten dalam mengambil pilihan, tidak pula memiliki strategi untuk menghindari buah simalakama tersebut. Saya harap ada tawaran solusi yang prospektif pada isu ini dari partai-partai.

3. Energi alternatif
Statistik lifting minyak mentah Indonesia menunjukkan penurunan. Walaupun nantinya ada penemuan dan eksploitasi cadangan minyak baru, belum tentu mampu memenuhi kenaikan permintaan domestik. Kebutuhan energi alternatif juga didorong oleh isu pemanasan global. Sebagian ahli masih menyangsikan dampak neto biofuel pada pengurangan emisi karbon.

4. Krisis listrik
Defisit listrik telah menjadi kenyataan, dan akan semakin parah. Pemakaian listrik terus tumbuh, sementara pembangunan tiap pembangkit listrik baru membutuhkan waktu lebih dari lima tahun.

5. Infrastruktur
Kondisi infrastruktur kita sekarang lebih jelek daripada masa orde baru. Sejak krisis , pemerintah tidak memiliki cukup anggaran untuk membangun dan memelihara infrastruktur. Pemerintah juga mengalami kesulitan untuk menyelesaikan hambatan "non-teknis" yang dulu kerap diatasi dengan tangan besi oleh orde baru. Pengusaha konstruksi juga ketakutan akan diduga melakukan korupsi karena peraturan dan pengawasan sekarang begitu ketat.

6. Asuransi kesehatan untuk orang miskin (Askeskin)
Askeskin juga mengalami krisis yang parah. Rumah sakit telah hilang kepercayaan pada Askeskin karena tunggakan tagihan tidak kunjung dibayar PT Askes atau pemerintah. Akibatnya, banyak rumah sakit menolak klaim Askeskin. Warga miskin terancam tidak mampu memperoleh layanan kesehatan.

7. Serbuan produk China
Overproduksi China sering dilempar ke Indonesia sehingga menghancurkan produk UKM Indonesia. Penurunan ekspor China ke AS yang sedang mengalami resesi memunculkan ancaman pengalihan ekspor China ke Indonesia. Apakah pembukaan pasar kita pada China memberikan manfaat neto positif? Perlukah kita menerapkan kuota impor pada China? Sekedar tarif sepertinya tidak efektif karena selisih harga produk China dengan domestik terlalu jauh.

8. Penyediaan lapangan kerja
Jutaan pengangguran merupakan efek gabungan dari permasalahan ekonomi. Penantian buah dari investasi asing tidak kunjung berakhir. Perlukah pemerintah memberikan solusi instan seperti proyek padat karya?

Saya kira isu-isu di atas sangat penting untuk diangkat oleh partai politik yang bersaing di pemilu 2009 mendatang. Tentunya bukan sekedar kritik pada kelemahan rezim sekarang di isu tersebut, namun tawaran solusi dari parpol yang kita butuhkan.

Saya sendiri berharap bisa menawarkan gagasan saya pada isu-isu di atas melalui blog ini. Kontribusi pembaca juga saya tunggu.

Friday, January 25, 2008

Sistem Kompensasi PNS

Pangkal dari buruknya kinerja birokrasi Indonesia adalah sistem penilaian dan kompensasi kinerja PNS. Sistem kompensasi tidak memberikan insentif pegawai birokrasi untuk berkinerja sebaik mungkin, karena besarnya kompensasi yang mereka terima tidak berhubungan dengan kinerja mereka.
Kelemahan sistem kompensasi yang sekarang berlaku telah lama dan secara luas disadari, termasuk oleh elit birokrasi di tingkat pusat. Lalu mengapa tidak ada perbaikan? Jawabannya klise, kepentingan.
Sebagian besar pegawai birokrasi termasuk kelompok pegawai yang malas ini. Mereka sangat menikmati sistem kompensasi yang berlaku. Mereka akan sangat kompak menentang perubahan sistem kompensasi menjadi berbasis kinerja.
Para pejabat pusat di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah memahami situasi ini. Mereka tidak mengusulkan perubahan sistem kompensasi karena mereka tidak mau jadi musuh banyak orang, dan mungkin mereka sendiri juga menikmati sistem ini.
Kita harap, ada calon Presiden di pilpres 2009 yang berani menawarkan perubahan sistem kompensasi ini. Kalaupun ada, kita masih juga harus berdoa agar ia berani merealisasikan janjinya.