Sunday, April 13, 2008

Transparansi Statistik Ekonomi

Analisis terhadap sektor riil perekonomian Indonesia selama ini mengandalkan data statistik yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS menjadi sumber data sekunder bagi penelitian ilmiah, perencanaan kebijakan, dan evaluasi kinerja pemerintah. Reliabilitas data BPS merupakan syarat bagi kesahihan seluruh premis dan kesimpulan dari analisis ekonomi yang menggunakannya.

Karena peranan data BPS yang sangat besar, tiap tuduhan atas ketidaksahihan data BPS merupakan tuduhan yang sangat serius. Jika tuduhan tersebut benar, maka tiap kesimpulan analisis ekonomi yang menggunakan data BPS akan kehilangan pijakan. Besarnya kerugian yang menjadi konsekuensi diterimanya tuduhan membuat kita lebih suka untuk tidak mempercayai tuduhan tersebut.

Keraguan terhadap data BPS
Diskusi mengenai metode pengumpulan data BPS sempat memanas ketika TIB meragukan data yang dipaparkan dalam pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus 2006.

Perbedaan antara situasi masyarakat yang ditemui TIB dengan apa yang dinyatakan BPS mendorong pada dugaan pada dua kemungkinan: temuan BPS tidak dapat dipercaya, atau BPS telah memanipulasi pengukurannya agar menghasilkan angka yang diinginkan Pemerintah.
Dua pernyataan yang saling bertentangan ini perlu diteliti. BPS secara resmi mengeluarkan pernyataan dan menerangkan metodologi yang mereka pakai. Metodologi penyampelan BPS biasanya sudah direncanakan dengan cermat.

Sebagaimana pembuktian terbalik dalam kasus korupsi, BPS harus dapat membuktikan bahwa dirinya bersih dari apa yang dituduhkan oleh TIB. Dengan kata lain, BPS harus senantiasa mampu membuktikan bahwa data dan pernyataan yang mereka kemukakan ke publik telah benar.

Untuk memperkuat kepercayaan terhadap data yang mereka terbitkan, BPS perlu mendapat konfirmasi dari banyak pihak akan kesahihan data mereka. Konfirmasi memerlukan kemampuan orang lain untuk menelusuri dan mereplikasi proses pengumpulan dan pengolahan data yang dilakukan BPS. Apabila hasil replikasi oleh pihak ketiga mengkonfirmasi statistik yang diterbitkan BPS, mereka akan terbebas dari segala tuduhan penyelewengan. Replikasi dapat dilakukan pada skala yang lebih kecil, seperti quick count pada saat Pemilu.

Pencantuman definisi dan metodologi pada terbitan BPS belum cukup membuka kemungkinan semua pihak untuk melakukan pengecekan dan replikasi tersebut. Kedua hal tersebut memerlukan kemudahan akses pada data-data survey dari mana data agregat disarikan.

Selama ini BPS hanya mempublikasikan data-data agregat dengan buku-buku statistik tercetak maupun dimuat di atas situs internet mereka. Masyarakat bebas mengakses data agregat ini dengan membeli buku statistik terbitan BPS atau menyalin dari situs BPS.
Akan tetapi data agregat tidak transparan. Tidak ada peneliti yang dapat mengecek kebenaran data agregat tersebut. Survey terpisah untuk menghasilkan statistik pembanding bagi statistik BPS akan membutuhkan biaya sangat besar. Pengulangan survey untuk keperluan konfirmasi kebenaran data BPS merupakan pemborosan.

Cara alternatif untuk mengecek kebenaran statistik BPS adalah dengan menelusuri proses pengolahan data dari sumbernya, yakni data mentah dari kuesioner hasil survey. Sayangnya, BPS tidak memberikan kemudahan akses kepada data hasil survey dari mana data-data agregat tersebut diperoleh. Untuk memperoleh data survey tersebut, kita harus membayar sangat mahal. BPS seakan-akan mengkomersialkan data survey tersebut untuk memperoleh pemasukan.

Pengenaan harga tinggi terhadap data survey tersebut tidak memiliki alasan yang masuk akal. Penerimaan dari penjualan data survey tidak sebanding dengan biaya survey dan tidak secara signifikan berkontribusi pada penerimaan negara. Justru, akses dan jual-beli tidak resmi atas data survey muncul karena harga tinggi tersebut tidak sebanding dengan kemampuan data untuk diproteksi.

BPS sebaiknya mencontoh RAND institute yang menyediakan data Survey Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) secara cuma-cuma. Dengan digratiskan, banyak peneliti yang dapat mengecek dan mereproduksi statistik yang dikeluarkan BPS sehingga dapat mendukung kebenarannya.

Manfaat Penggratisan Data Survey
Penyediaan data survey secara gratis tidak hanya meningkatkan kredibilitas BPS, melainkan juga akan memajukan kualitas penelitian dan analisis ekonomi. Penggunaan data survey mengatasi banyak persoalan yang biasa ditemui dalam analisis terhadap data agregat. Peneliti akan memperoleh informasi dan pilihan variabel yang lebih banyak.
Hasil penelitian ekonomi yang meningkat kualitasnya akan memberikan masukan-masukan yang penting bagi evaluasi dan perumusan kebijakan ekonomi. Kebijakan pemerintah dapat menjadi lebih efektif dan tepat sasaran. Kemungkinan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang keliru akan mengecil. Pemborosan anggaran negara dan kerugian masyarakat akibat kebijakan yang keliru dapat semakin dihindari. Secara keseluruhan, kesejahteraan masyarakat akan meningkat karena peningkatan kualitas penelitian ekonomi ini.

Potensi manfaat peningkatan kemudahan akses pada data survey BPS jelas jauh lebih besar daripada penerimaan hasil penjualan data yang akan hilang. Dampak neto dari perubahan aturan ini adalah kesejahteraan masyarakat akan lebih baik daripada sebelumnya

Thursday, April 10, 2008

Selamatkan Aset Rakyat Miskin dengan Meregulasi Lembaga Keuangan Mikro

Krisis finansial kembali membawa ekonomi dunia pada resesi. Krisis ini menguatkan rekomendasi anti-liberal untuk memperketat regulasi pada pasar uang dan perbankan. Walaupun pasar uang lebih banyak melibatkan uang milik masyarakat lapis menengah ke atas, krisis di pasar uang dapat berimbas pada masyarakat menengah ke bawah melalui pengaruhnya pada investasi riil dan konsumsi yang berujung pada penyempitan lapangan kerja.

Akan tetapi, kita seharusnya lebih (paling tidak sama) peduli terhadap bencana finansial yang menimpa masyarakat miskin. Dengan minimnya pendidikan dan informasi, masyarakat miskin sering menjadi korban penipuan dan kesalah-pengelolaan lembaga keuangan mikro (LKM). Di sisi lain, pengawasan dan pengaturan terhadap LKM sangat minim, dibandingkan dengan terhadap perbankan dan pasar uang. Departemen Koperasi yang seharusnya mengemban fungsi tersebut minim kemampuan dan minat untuk menjalankannya.

Bank Indonesia lebih memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsi tersebut. Namun, hingga saat ini undang-undang tidak memberi BI tanggung jawab untuk menjalankannya.

Hasilnya, berita hilangnya uang nasabah akibat dilarikan oleh pemilik/pengelola atau karena kecerobohan pengelolaan sering kita dapati di media. Walaupun berstatus LKM, institusi yang bermasalah tersebut seringkali telah melibatkan dana nasabah milyaran rupiah.

Sebagaimana yang berlaku di sektor perbankan, permasalahan di satu LKM juga menimbulkan eksternalitas negatif ke LKM lainnya. Masyarakat menjadi tidak mempercayai keamanan LKM. LKM semakin kesulitan untuk memperoleh dana simpanan. Dampak selanjutnya, usaha kecil dan mikro (UKM) sulit memperoleh dana untuk pengembangan usaha mereka. Padahal, peran UKM dalam menyerap tenaga kerja jauh lebih besar daripada perusahaan besar yang mendapatkan dana dari perbankan dan pasar uang.

Simpanan nasabah LKM lebih mendesak untuk diselamatkan daripada simpanan nasabah perbankan. Karena itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) semestinya juga memberikan jaminan bagi simpanan masyarakat di LKM.

Wednesday, April 9, 2008

Minyak untuk Pangan

Sebagaimana dalam postingan saya di Komentar Ekonomi berjudul Urgensi Kenaikan Harga BBM, subsidi BBM harus segera dikurangi, baik dengan cara kenaikan harga atau pembatasan subsidi. Saya lebih menekankan pada ke mana dana subsidi tersebut dialihkan. Pengalihan dana subsidi untuk membangun infrastruktur baru memberikan hasil pada jangka panjang. Masyarakat akan merasa worse-off dalam jangka pendek sehingga cenderung menolak kebijakan pengurangan subsidi tersebut.

Pengalihan subsidi harus memenuhi beberapa kriteria:
1. Manfaat dirasakan segera
2. Penerima manfaat terutama adalah masyarakat yang paling sensitif terkena dampak kenaikan BBM
3. Mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang

Gagasan Chatib Basri untuk mengalihkan subsidi BBM ke subsidi pangan adalah sangat brilian. Namun sekedar mengalihkan pada subsidi pangan tidak mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tanpa perbaikan sisi penawaran, subsidi pangan hanya mendorong permintaan dan akan kembali membawa anggaran negara pada perangkap subsidi, hanya saja kali ini pada subidi pangan bukan subsidi BBM.

Gagasan tersebut telah menembak sasaran yang tepat, yakni komoditas pangan. Subsidi pangan bersifat regresif secara absolut maupun relatif terhadap pendapatannya. Rakyat miskin akan mendapatkan subsidi terbesar karena mereka mengkonsumsi jenis komoditas kualitas rendah yang menjadi target subsidi. Belanja makanan juga merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rakyat miskin. Semakin kaya seseorang, porsi pangan terhadap pendapatan menjadi semakin kecil. Kualitas jenis makanannya pun akan membaik, sehingga lebih sedikit mengkonsumsi jenis makanan yang disubsidi.

Pemerintah tinggal memodifikasi agar subsidi tersebut juga mendorong pertumbuhan produksi pangan domestik. Marjin laba sektor pangan merupakan insentif utama untuk meningkatkan produksi. Dalam jangka pendek, subsidi dapat menjembatani kepentingan konsumen untuk mendapat pangan murah dengan kepentingan produsen untuk memperoleh marjin laba cukup.

Dalam jangka panjang, pembangunan sektor pangan harus mampu menurunkan ongkos produksi pangan dan mengurangi rente yang saat ini dinikmati oleh pelaku saluran distribusi. Dengan demikian, harga pangan akan tetap murah tanpa mengurangi marjin laba yang dinikmati produsen.

Kebijakan ini melibatkan redistribusi yang cukup signifikan. Sebagaimana analisis Khudori, saat ini penyalur pangan menikmati surplus terbesar dengan diimbangi kerugian pada konsumen dan produsen. Surplus ini perlu diredistribusi dari penyalur ke produsen dan konsumen. Redistribusi ini dapat berbentuk regulasi harga, pembenahan struktur pasar, serta penguatan daya tawar produsen dan konsumen.

Untuk mengurangi biaya produksi, pemerintah perlu membantu petani untuk meningkatkan skala produksi. Rasio lahan per pekerja sektor pertanian dapat ditingkatkan dengan membuka lahan baru dan memberikannya pada petani gurem. Untuk pulau Jawa, pemerintah tidak akan dapat mencegah laju konversi lahan pertanian menjadi pemukiman karena populasi memang terpusat di pulau Jawa dan terus tumbuh cepat. Lahan baru hanya dapat dibuka di pulau-pulau luar Jawa. Pemerintah dan para ahli perlu bekerja sama untuk mengkaji potensi ekonomi dan biaya ekologis dari kebijakan tersebut.

Pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan mendesak dilakukan. Para ahli pertanian perlu menemukan solusi atas penyediaan pangan dan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa pengembangan biofuel justru dapat berdampak neto lebih buruk pada pelepasan karbon. Walaupun emisi karbon dari biofuel lebih rendah, konversi hutan ke ladang tanaman bahan baku biofuel telah mengurangi penyerapan karbondioksida.

Sebagian subsidi BBM dapat dialihkan untuk mendorong pengembangan teknologi pertanian ini. Kalau peneliti dari Indonesia tidak mampu menghasilkan temuan yang diperlukan, pemerintah dapat menggaji peneliti asing atau membeli paten dari luar negeri.

Selain untuk pangan, subsidi BBM dapat pula dialihkan untuk memperluas akses rakyat miskin pada pendidikan dan kesehatan. Untuk sektor pendidikan, subsidi sebaiknya ditargetkan kepada individu bukan institusi sekolah. Hingga saat ini sekolah yang telah mendapat subsidi dari pemerintah tetap tidak menghentikan pungutan biaya pada siswa. Kalaupun subsidi diberikan pada sekolah, harus ada larangan tegas (berkonsekuensi sanksi bagi pelanggar) bagi sekolah tersebut untuk memungut biaya tambahan dari siswa.

Di sektor kesehatan, Askeskin sangat membutuhkan dana tambahan untuk membayar klaim rumah sakit. Tunggakan Depkes pada rumah-rumah sakit telah sangat besar sehingga banyak rumah sakit tidak mau menerima pasien Askeskin. Kucuran dana pengalihan subsidi BBM ke Askeskin akan menyelamatkan banyak nyawa. Kesehatan merupakan investasi SDM untuk menjaga kualitas tenaga kerja. Untuk jangka panjang, kita perlu memikirkan rancangan kelembagaan sektor kesehatan agar mampu memberikan layanan berkualitas dengan biaya terjangkau.