Friday, January 25, 2008

Sistem Kompensasi PNS

Pangkal dari buruknya kinerja birokrasi Indonesia adalah sistem penilaian dan kompensasi kinerja PNS. Sistem kompensasi tidak memberikan insentif pegawai birokrasi untuk berkinerja sebaik mungkin, karena besarnya kompensasi yang mereka terima tidak berhubungan dengan kinerja mereka.
Kelemahan sistem kompensasi yang sekarang berlaku telah lama dan secara luas disadari, termasuk oleh elit birokrasi di tingkat pusat. Lalu mengapa tidak ada perbaikan? Jawabannya klise, kepentingan.
Sebagian besar pegawai birokrasi termasuk kelompok pegawai yang malas ini. Mereka sangat menikmati sistem kompensasi yang berlaku. Mereka akan sangat kompak menentang perubahan sistem kompensasi menjadi berbasis kinerja.
Para pejabat pusat di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah memahami situasi ini. Mereka tidak mengusulkan perubahan sistem kompensasi karena mereka tidak mau jadi musuh banyak orang, dan mungkin mereka sendiri juga menikmati sistem ini.
Kita harap, ada calon Presiden di pilpres 2009 yang berani menawarkan perubahan sistem kompensasi ini. Kalaupun ada, kita masih juga harus berdoa agar ia berani merealisasikan janjinya.

Kendali Bahan Pokok

Tiap kali terjadi kenaikan drastis harga pangan, kita senantiasa menyaksikan tragedi masyarakat miskin menurunkan kualitas menu makan harian: dari nasi ke nasi aking atau ubi, dari tempe ke tempe gembus. Tulisan ini menawarkan (kembali) gagasan untuk mengendalikan bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat untuk mencegah penurunan kualitas generasi mendatang Indonesia.

Masyarakat miskin tidak punya tabungan yang dapat mempertahankan tingkat konsumsi mereka ketika terjadi kejutan-kejutan ekonomi. Pada kasus nasi aking, sepertinya mereka yang beralih ke nasi aking adalah masyarakat miskin yang tidak tersentuh oleh program raskin. Kemungkinan kedua, pemerintah terlambat dalam menginstruksikan BULOG untuk mendistribusikan raskin tersebut. Jadi, letak kesalahannya adalah pada pengelolaan program raskin.

Sedangkan pada kasus kedelai, BULOG tidak lagi bertugas menangani komoditas ini sejak tahun 1997. Pasokan kedelai yang banyak diimpor dari Amerika Serikat sangat tergantung kepada harga internasional. Dengan tidak adanya kendali harga maupun subsidi atas kedelai, harga dalam negeri sepenuhnya mengikuti harga internasional.

Apakah komoditas kedelai perlu dikelola lagi oleh BULOG? Jawaban atas pertanyaan ini butuh analisis panjang. Solusi first best tentu saja jika mekanisme pasar berjalan baik dengan memberikan cukup insentif berproduksi pada petani tanpa memberatkan konsumen. Saya percaya bahwa harga kedelai yang tinggi ini akan menjadi insentif bagi petani untuk kembali menanam kedelai. Namun selama proses penyesuaian ini, konsumen miskin akan mengalami penurunan kualitas gizi.

Saya kira, komoditas bahan pokok tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar sepenuhnya. Kecukupan stok bahan pokok diperlukan oleh seluruh masyarakat. Konsumen miskin harus tetap mampu mendapatkan bahan pokok tersebut untuk bertahan hidup dan menjaga kualitas kesehatan anak-anak mereka. Jaminan laba berusaha diperlukan petani agar mereka tetap mau menanam komoditas bahan pokok tersebut.

Fungsi Bulog kurang lebih sama pentingnya dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia mengendalikan harga dengan mengatur suplai uang yang berujung pada sisi permintaan agregat. Sedangkan Bulog secara langsung mengatur sisi penawaran dan spesifik pada suplai bahan pokok.

Wednesday, January 16, 2008

Pekerjaan Transisi

Tiap orang butuh penghidupan yang layak. Untuk mendapatkan penghidupan, ia harus menukarkan karya yang nilainya paling tidak sama. Tidak seorang pun berhak atas penghidupan tanpa bekerja, kecuali ia belum mampu mandiri mendapatkannya, seperti anak-anak.
Mekanisme pasar gagal menyediakan jumlah pekerjaan dan atau penghidupan yang cukup. Pemikiran klasik berpendapat bahwa pekerjaan akan tersedia bagi semua orang jika upah dibiarkan terus turun selama masih ada orang menganggur yang mau dibayar lebih rendah. Masalahnya, upah yang mencapai kesempatan kerja penuh ini mungkin jauh dari mencukupi kebutuhan hidup minimum. Sebaliknya, jika upah dijaga agar tetap di atas kebutuhan hidup minimum, kesempatan kerja akan berkurang dan pengangguran pun tercipta.
Intervensi pemerintah dalam menyerap tenaga kerja juga menimbulkan beberapa masalah tersendiri. Jika pekerja pada program pemerintah mendapatkan upah yang mencukupi kebutuhan sehingga lebih tinggi daripada upah di sektor informal, pekerja dari sektor informal akan ikut melamar ke pekerjaan tersebut. Pekerja yang berpindah ini lebih berpengalaman daripada penganggur sehingga mereka cenderung memenangkan persaingan pada lapangan kerja baru. Penganggur mungkin akan mengisi lowongan kerja yang ditinggalkan oleh pekerja yang berpindah. Pengurangan surplus tenaga kerja akan mendorong kenaikan upah rata-rata.
Dampak dari upah tinggi adalah daya saing rendah. Namun, daya saing juga tidak bermakna jika hasilnya adalah pekerja tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Daya saing seharusnya diupayakan tidak hanya dengan menurunkan biaya, tapi juga dengan perbaikan kualitas.

Kualitas Pekerja
Sebagaimana barang, tenaga kerja dilihat tidak hanya dari harga, melainkan juga dari kemampuan dan produktivitasnya. Perusahaan tidak akan keberatan untuk memberikan upah tinggi kepada tenaga kerja yang memiliki kemampuan dan produktivitas tinggi. Karenanya, jika pemerintah ingin menjamin kesejahteraan pekerja, pemerintah harus juga meningkatkan kemampuan dan produktivitas mereka.
Ketika produktivitas pekerja sudah tinggi, upah tinggi tidak lagi menjadi hambatan bagi perusahaan. Jika perusahaan masih juga belum mau masuk, dapat dipastikan ada faktor lain yang menghambat mereka. Faktor-faktor seperti kelangkaan infrastruktur, kelemahan penegakan hukum, dan pungutan liar sering menjadi penghambat investasi di Indonesia. Peniadaan faktor-faktor penghambat tersebut menjadi pembahasan di usulan terpisah.

Pekerjaan Transisi
Pemerintah sebaiknya menyelenggarakan pekerjaan transisi bagi para penganggur. Pekerjaan Transisi hanya bertujuan memberikan penghidupan sementara hingga penganggur tersebut memperoleh pekerjaan tetap. Pekerjaan ini juga memberikan pengalaman dan kemampuan yang banyak diminta oleh employer. Perubahan struktur ekonomi juga difasilitasi oleh pekerjaan transisi ini dengan memberikan ketrampilan yang dibutuhkan oleh sektor baru yang sedang tumbuh.
Penyerapan kerja oleh pemerintah tidak berdampak kontraproduktif jika nilai upah sebanding dengan beban kerja. Selain itu, masa bekerja di program tersebut perlu dibatasi agar pekerja tidak berhenti dari mencari kerja di sektor swasta.
Pekerja transisi ini harus diberikan jenis pekerjaan yang sesuai agar mempertajam keahliannya. Dengan pengalaman kerja transisi yang relevan, pekerja akan mudah memperoleh pekerjaan tetap. Pengawas di program publik dapat memberikan rekomendasi terkait kinerja pekerja untuk digunakan melamar pekerjaan swasta.
Biaya yang dibutuhkan untuk program Pekerjaan Transisi ini cukup besar. Jumlah pengangguran saat ini diperkirakan sekitar 10 juta orang. Jika masing-masing dibayar sesuai dengan tingkat pendidikan dan kinerjanya, rata-rata tertimbang upah yang dibayarkan per orang adalah 1 juta per orang per bulan. Anggaran setahun yang diperlukan adalah sebesar 120 trilyun.
Negara tidak memiliki cukup anggaran untuk membiayai perekrutan seluruh penganggur seperti di atas. Karena itu, penyerapan penganggur harus dilakukan secara bertahap. Jika pemerintah ingin menyerap 20 persen dulu dari pengangguran, program Pekerjaan Transisi ini akan butuh anggaran sebesar 24 trilyun setahun.
Sejalan dengan program ini, sektor swasta juga didorong agar tingkat penyerapan oleh swasta juga dapat melebihi tingkat pertumbuhan angkatan kerja. Jika pertumbuhan lapangan kerja oleh swasta telah mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja, penyerapan kerja oleh sektor publik tidak lagi diperlukan.
Agar tidak menimbulkan efek penyesakan (crowding effect), output dari program ini harus merupakan jenis output yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Program yang memenuhi syarat ini adalah pembangunan infrastuktur fisik dan nonfisik (jalan, jembatan, sistem informasi), perbaikan lingkungan (penghijauan, kebersihan), relawan bencana, pengumpulan dan diseminasi informasi (survey untuk keperluan statistik, penyuluhan kesehatan), audit investigasi kewajiban pajak, pemberantasan pungutan liar, dan pemberantasan korupsi.
Metode penilaian kebutuhan dan pengalokasian ke masing-masing program dan departemen yang mengkoordinir mirip dengan penetapan formasi CPNS. Pembukaan lowongan untuk pekerjaan ini sebaiknya diberi jarak dari bulan-bulan kelulusan, sehingga para lulusan sempat mencari kerja di sektor swasta. Jika bulan kelulusan adalah Agustus, maka rekrutmen dilakukan pada bulan Januari.
Jatah kontrak pada program ini adalah 12 bulan sepanjang hidup. Seseorang dapat keluar dari program ini kapan saja jika diterima kerja di swasta. Dengan keluar lebih awal, ia masih memiliki sisa jatah bekerja di program ini jika suatu saat ia kembali menganggur.

Pengelolaan Pendidikan

Pendidikan generasi muda merupakan investasi, bagi orang tua maupun negara. Orang tua berinvestasi pada pendidikan anak-anaknya agar mampu memperoleh penghidupan secara mandiri. Orang tua juga butuh anaknya ketika di masa tua mereka tidak lagi mampu menghidupi dan mengurus diri-sendiri.
Pendidikan generasi muda juga merupakan investasi bagi negara. Kebanyakan orang menilai pengeluaran negara untuk pendidikan merupakan pengeluaran konsumtif. Padahal, pendidikan akan meningkatkan pendapatan warga negara ketika memasuki lapangan kerja. Pengeluaran pendidikan saat ini akan mendatangkan penerimaan pajak yang lebih tinggi di masa mendatang.
Untuk mencegah kemiskinan baru di masa depan, setiap anak usia sekolah seharus memperoleh pendidikan yang berkualitas hingga level di mana mereka mampu memperoleh penghidupan yang layak.
Permintaan atas jasa pendidikan bersifat inelastis dari sisi kuantitas, namun elastis dari sisi kualitas. Jika harga jasa pendidikan meningkat, orang tua tetap menyekolahkan anaknya hingga level yang diinginkan, namun akan mencari sekolah yang lebih murah walau kualitas lebih rendah.

Pembiayaan Negara dan Swasta
Tiap sekolah baik negeri maupun swasta diberikan dua pilihan, dibiayai negara atau biaya sendiri. Inisiatif swasta diperlukan untuk mempercepat perluasan cakupan sekolah. Tetapi, negara hanya membiayai sekolah yang memenuhi syarat jumlah minimum siswa.
Pemerintah melarang sekolah yang dibiayai negara memungut biaya lagi dari siswa. Masing-masing sekolah mendapatkan jatah pembiayaan per siswa yang terdaftar di sekolah mereka. Dengan demikian, tiap sekolah berfokus pada memperbaiki kualitas untuk menarik calon siswa mendaftar ke mereka. Sekolah masih boleh mencari sumber dana yang tidak memberatkan siswa, seperti donasi yayasan dan perusahaan.
Sekolah yang menggunakan biaya sendiri dibebaskan untuk menetapkan harga pendidikan dan menggunakan sumber dana lainnya. Sekolah swasta ini boleh mencari keuntungan. Orang tua yang menyekolahkan anaknya di sini adalah mereka yang ingin memberikan kualitas pendidikan lebih tinggi dan mampu menanggung biaya sekolah tersebut.

Anggaran Pendidikan
Peningkatan anggaran pendidikan perlu untuk membiayai perluasan cakupan pendidikan dan perbaikan kualitas ini. Namun, peningkatan ini harus dilakukan seiring dengan kemampuan penyerapan oleh departemen pendidikan. Saat ini, departemen pendidikan terkesan tidak siap untuk menyerap anggaran mereka yang tiba-tiba meningkat berkali lipat.
Penetapan alokasi anggaran pendidikan minimum 20 persen dari keseluruhan anggaran tidak diperlukan. Lebih baik, undang-undang menetapkan outcome yang harus dicapai, seperti tingkat dropout, rata-rata prestasi siswa, dan partisipasi pendidikan pada tiap level.

Perangkat
Desain kurikulum pendidikan juga harus diorientasikan untuk siap kerja. Yang dimaksud siap kerja bukan sekedar siap menjadi pekerja, namun mencakup pula kesiapan untuk berwirausaha. Sejak sekolah dasar, siswa dididik untuk mandiri dengan memproduksi dan menjual barang atau jasa.
Gaji guru harus kompetitif dengan profesi lain agar lulusan terbaik mau menjadi guru. pada saat ini, orang berprofesi sebagai guru bukan lulusan terbaik dari pendidikan. Untuk menjaga kinerja, seorang guru harus senantiasa menghadapi ancaman kompetisi dari orang lain yang ingin menggantikannya. Jika seorang guru berkinerja buruk, ia harus berhenti menjadi guru dan mencari pekerjaan lain yang lebih cocok.

Insentif Bagi Orang Miskin

“Berikan kail, jangan beri ikannya” merupakan kaidah klasik dalam menolong seseorang agar tidak menimbulkan ketergantungan. Pendekatan baru dalam pengentasan kemiskinan tidak hanya memberikan sarana, namun juga memotivasi orang miskin untuk menolong dirinya sendiri.
Bantuan dari luar seringkali membuat orang miskin betah dengan kemiskinannya. Banyak fasilitas hanya bisa didapatkan oleh orang miskin. Orang yang tidak miskin sekalipun ikut mengaku miskin agar mendapatkan fasilitas tersebut. Kelemahan metode dan penyimpangan dalam identifikasi orang miskin sering menjadi penyebab kecemburuan dan konflik sosial.

Insentif
Pemberian shodaqoh kepada segala jenis peminta, termasuk pengemis dan pengamen, merupakan salah satu jenis bantuan yang memberikan insentif yang keliru. Telah banyak diketahui bahwa perolehan para peminta ini dapat melebihi laba pedagang kecil. Jika orang tidak mempertimbangkan moral dan rasa malu, profesi peminta ini jauh lebih menarik karena hasil besar tanpa modal. Insentif ini diduga merupakan salah satu faktor utama pertambahan jumlah peminta.
Desain tiap bantuan harus mempertimbangkan dampak insentif untuk mandiri pada penerima bantuan. Orang miskin kehilangan motivasi untuk mengentaskan diri karena dua faktor. Pertama, keputusasaan dalam berusaha karena senantiasa gagal atau tidak menemukan kesempatan. Kedua, terlena dengan fasilitas dan bantuan yang diberikan pada orang miskin.
Keputusasaan diminimalkan dengan meningkatkan kemampuan orang miskin serta membukakan mereka akses pada kesempatan meningkatkan taraf hidup. Kemampuan orang miskin ditingkatkan dengan memberi modal fisik dan modal manusia. Kesempatan memperbaiki kesejahteraan dibuka dengan mempermudah akses orang miskin ke investasi dan pekerjaan yang memberikan imbal tinggi.
Upaya pemberian kemampuan dan kesempatan pada orang miskin perlu mewarnai kebijakan ekonomi di seluruh sektor. Tata ruang kota harus menyediakan ruang bagi tempat tinggal dan pencaharian penduduk miskin. Pasar modal sebagai jalur cepat kesejahteraan perlu membuka akses pada perusahaan dan pemodal kecil.

Penyalahgunaan
Untuk mencegah moral hazard, bantuan di luar kebutuhan fisik minimum tidak boleh diberikan secara gratis. Orang non miskin tidak mau mengkonsumsi produk kualitas rendah yang sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum. Bantuan gratis tersebut juga harus tidak dapat diperdagangkan untuk mencegah orang yang tidak membutuhkan ikut mengambil bantuan. Bantuan berkualitas rendah seperti raskin masih mengalami salah sasaran karena membuka peluang keuntungan pada orang yang tidak benar-benar membutuhkannya dengan menjualnya ke pasar.
Tidak boleh ada lagi manipulasi klaim kerusakan aset akibat bencana untuk mendapatkan bantuan. Cara mencegah manipulasi semacam itu adalah dengan mewajibkan pembayaran yang senilai dengan bantuan yang diterima. Bantuan yang wajib dibayar kembali mampu mendorong penerimanya lebih bijak dalam memanfaatkannya.
Pembayaran tersebut dapat berwujud uang, produk, atau tenaga kerja. Pembayaran uang menggunakan mekanisme utang. Perbedaan bantuan ini dengan utang komersial adalah pembebasan dari kewajiban bunga dan jangka waktu pengembalian yang panjang. Utang komersial tidak mungkin memberikan dua fasilitas tersebut, apalagi ke orang miskin yang tidak memiliki agunan.
Pembayaran berwujud produk dapat diberikan oleh penerima bantuan yang berprofesi sebagai produsen. Sebagai misal, seorang petani membayar kembali bantuan yang diterimanya dengan menyerahkan sekian ton hasil pertaniannya, lepas dari harga pasar yang berlaku, kepada pemerintah untuk didistribusikan kembali sebagai bantuan makanan kepada orang miskin.
Penerima bantuan juga dapat membayar dengan tenaga kerja mereka. Penerima bantuan dapat bekerja di program-program pemerintah yang tidak dapat ditangani sendiri oleh aparat pemerintah yang digaji. Jangan sampai aparat memanfaatkan penerima bantuan untuk mengerjakan tugas-tugas mereka, sebagaimana yang terjadi pada kegiatan magang/praktik kerja lapangan dari siswa sekolah ke badan pemerintah.
Kelompok orang yang tidak mampu melakukan aktivitas produktif, seperti anak-anak, orang cacat, dan orang lanjut usia tidak diwajibkan untuk membayar bantuan seperti di atas. Untuk mencegah penyimpangan, bantuan sebaiknya berbentuk barang atau jasa yang tidak dapat dimanfaatkan oleh selain mereka. Sebagai misal, beasiswa pendidikan anak yang langsung dibayarkan ke sekolah menutup kemungkinan penyalahgunaan dana beasiswa oleh orang tua.

Mengapa Ekonomi Baru?

Realitas kinerja yang lambat menandakan perlunya perubahan kebijakan. Tidak ada alasan bahwa kebijakan lama masih menantikan buahnya. Sepuluh tahun adalah masa yang cukup panjang untuk menantikan buah suatu kebijakan. Jika buah itu tidak dapat kita nikmati sampai sekarang, maka kita harus mempertanyakan bibit apa yang selama ini ditanam.

Warisan Kebangkrutan
Paradigma kebijakan ekonomi indonesia pasca reformasi tidak jauh berbeda dari zaman orde baru. Namun prestasi yang dicerminkan oleh indikator-indikator ekonomi pertumbuhan, pengangguran, dan kemiskinan kalah jauh dibandingkan orde baru. Kesenjangan prestasi disebabkan pemerintah sekarang tidak lagi menikmati kesempatan yang ada pada orde baru.
Sebaliknya, pemerintah sekarang mendapatkan getah dari kebijakan ekonomi orde baru. Eksploitasi sumber daya alam pada masa orde baru berlangsung habis-habisan dan hanya menyisakan pekerjaan rumah untuk memperbaiki lingkungan yang telah rusak. Pembangunan masa orde baru yang dibiayai hutang luar negeri kini menyisakan beban cicilan dan bunga hutang yang menghabiskan 40 persen anggaran negara.
Dengan sumber daya yang sangat terbatas, pemerintah kini sulit bergerak. Pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan infrastruktur yang penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak pula pemerintah dapat menyediakan asuransi sosial bagi warganya.
Resep tim ekonomi sekarang berkutat pada pengendalian inflasi, upaya menarik investasi asing langsung maupun portofolio, privatisasi, liberalisasi penanaman modal, pengendalian kurs secara mengambang, dan pengalihan utang asing menjadi utang domestik. Setiap kebijakan tersebut tentunya telah didukung dengan pertimbangan yang matang.
Namun pertimbangan matang tidak menjamin efektivitas setelah diterapkan. Dan itulah yang terjadi pada perekonomian Indonesia. Perekonomian kita pulih secara lambat dibandingkan negara tetangga, apalagi jika dibandingkan dengan Rusia, China, dan Argentina.

Indonesia perlu resep baru
Realitas kinerja yang lambat menandakan perlunya perubahan kebijakan. Tidak ada alasan bahwa kebijakan lama masih menantikan buahnya. Sepuluh tahun adalah masa yang cukup panjang untuk menantikan buah suatu kebijakan. Jika buah itu tidak dapat kita nikmati sampai sekarang, maka kita harus mempertanyakan bibit apa yang selama ini ditanam.
Hingga kini, belum ada yang mengajukan usulan perubahan kebijakan secara praktis. Kritik seringkali bersifat reaktif terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Belum ada ekonom yang membaca garis kebijakan rezim ekonomi sekarang dan memberikan konsep alternatif yang dapat dioperasionalkan.
Indonesian Forum telah menginisiasi Visi Indonesia 2030 agar rakyat memiliki optimisme dan menyatukan langkah untuk mencapai visi ini. Visi itu menjadi pesaing dari rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) yang ditetapkan melalui mekanisme demokrasi perwakilan.
Gagasan berupa visi dan strategi masih membutuhkan penerjemahan ke dalam bentuk kebijakan yang lebih operasional. Tanpa pengawasan dan evaluasi yang kontinu terhadap perkembangan kebijakan yang berlaku, maka tidak dapat kita mengetahui sejauh mana perjalanan kita dalam mencapai visi tersebut.
Rezim ekonomi sendiri belum tentu sepakat 100 persen dengan visi tersebut. Rezim cenderung memanfaatkan gagasan yang mirip dengan desain mereka sebagai stempel pengesahan atas kebijakan mereka. Sementara pada gagasan yang bertentangan, rezim ekonomi sekedar menganggapnya sebagai wacana.
Gagasan lain seperti ekonomi pasar sosial yang diusung “kaum muda” juga masih berupa sketsa kasar. Akibatnya, banyak pihak yang meragukan keseriusan dari gagasan ini.
Semakin utuh suatu gagasan, semakin mudah ia meyakinkan orang lain. Orang lebih memilih gagasan yang dapat dipraktikkan, walaupun secara teoritis banyak mengandung kelemahan.
Pengertian dapat dipraktikkan adalah gagasan tersebut dapat direalisasikan dengan sumber daya yang tersedia dan gagasan tersebut menawarkan manfaat bagi pihak yang berkuasa sehingga mereka mendukung kebijakan tersebut. Dalam demokrasi mayoritas, suara pemilih juga merupakan kekuasaan, sehingga gagasan dapat pula dipraktikkan jika mampu menggalang dukungan dari mayoritas pemilih.

Ekonomi Baru Indonesia
Dalam rangka mengembangkan gagasan alternatif ekonomi (yang dapat dipraktikkan), Yayasan Alifa melahirkan gerakan Ekonomi Baru Indonesia. Ekonomi Baru Indonesia (EBI) adalah sebuah gerakan terbuka yang bertujuan menghasilkan ide-ide alternatif kebijakan ekonomi. EBI tidak menawarkan satu paket kebijakan yang diklaim sebagai terbaik. EBI membuka diri kepada berbagai ide alternatif. EBI membiarkan ide-ide itu bersaing dalam meyakinkan warga Indonesia bahwa idenya adalah yang terbaik.
EBI hanya mensyaratkan agar ide-ide itu merupakan kebijakan yang siap diterapkan. EBI tidak menerima ide yang masih berupa visi, apalagi sekedar jargon. EBI mendorong para penggagas untuk membumikan ide-idenya. Harapannya, masyarakat dan penguasa akan mempercayai bahwa ide tersebut bukan sekedar impian yang pencetusnya sendiri tidak mampu menerapkannya jika diberi wewenang.
Draf usulan kebijakan yang sudah setengah matang akan dipublikasikan melalui internet sebagai working paper dan dijadikan bahan diskusi. Komentar-komentar yang menanggapi usulan tersebut akan menjadi masukan untuk mematangkan gagasan yang ada, memperbaiki kekeliruan, dan melengkapi kesenjangan argumen.
Draf tersebut akan terus diperbaiki dan dipublikasikan kembali hingga dirasakan telah mencapai bentuk finalnya. Usulan-usulan final akan ditawarkan ke publik, pelaku politik, dan pembuat kebijakan. Usulan-usulan tersebut saling berkompetisi untuk mendapat dukungan dari publik dan pembuat kebijakan. Pada akhirnya, sistem politik dan preferensi pelaku politik akan menentukan usulan mana yang dapat mewujud sebagai kebijakan di pusat atau daerah.