Sunday, April 13, 2008

Transparansi Statistik Ekonomi

Analisis terhadap sektor riil perekonomian Indonesia selama ini mengandalkan data statistik yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS menjadi sumber data sekunder bagi penelitian ilmiah, perencanaan kebijakan, dan evaluasi kinerja pemerintah. Reliabilitas data BPS merupakan syarat bagi kesahihan seluruh premis dan kesimpulan dari analisis ekonomi yang menggunakannya.

Karena peranan data BPS yang sangat besar, tiap tuduhan atas ketidaksahihan data BPS merupakan tuduhan yang sangat serius. Jika tuduhan tersebut benar, maka tiap kesimpulan analisis ekonomi yang menggunakan data BPS akan kehilangan pijakan. Besarnya kerugian yang menjadi konsekuensi diterimanya tuduhan membuat kita lebih suka untuk tidak mempercayai tuduhan tersebut.

Keraguan terhadap data BPS
Diskusi mengenai metode pengumpulan data BPS sempat memanas ketika TIB meragukan data yang dipaparkan dalam pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus 2006.

Perbedaan antara situasi masyarakat yang ditemui TIB dengan apa yang dinyatakan BPS mendorong pada dugaan pada dua kemungkinan: temuan BPS tidak dapat dipercaya, atau BPS telah memanipulasi pengukurannya agar menghasilkan angka yang diinginkan Pemerintah.
Dua pernyataan yang saling bertentangan ini perlu diteliti. BPS secara resmi mengeluarkan pernyataan dan menerangkan metodologi yang mereka pakai. Metodologi penyampelan BPS biasanya sudah direncanakan dengan cermat.

Sebagaimana pembuktian terbalik dalam kasus korupsi, BPS harus dapat membuktikan bahwa dirinya bersih dari apa yang dituduhkan oleh TIB. Dengan kata lain, BPS harus senantiasa mampu membuktikan bahwa data dan pernyataan yang mereka kemukakan ke publik telah benar.

Untuk memperkuat kepercayaan terhadap data yang mereka terbitkan, BPS perlu mendapat konfirmasi dari banyak pihak akan kesahihan data mereka. Konfirmasi memerlukan kemampuan orang lain untuk menelusuri dan mereplikasi proses pengumpulan dan pengolahan data yang dilakukan BPS. Apabila hasil replikasi oleh pihak ketiga mengkonfirmasi statistik yang diterbitkan BPS, mereka akan terbebas dari segala tuduhan penyelewengan. Replikasi dapat dilakukan pada skala yang lebih kecil, seperti quick count pada saat Pemilu.

Pencantuman definisi dan metodologi pada terbitan BPS belum cukup membuka kemungkinan semua pihak untuk melakukan pengecekan dan replikasi tersebut. Kedua hal tersebut memerlukan kemudahan akses pada data-data survey dari mana data agregat disarikan.

Selama ini BPS hanya mempublikasikan data-data agregat dengan buku-buku statistik tercetak maupun dimuat di atas situs internet mereka. Masyarakat bebas mengakses data agregat ini dengan membeli buku statistik terbitan BPS atau menyalin dari situs BPS.
Akan tetapi data agregat tidak transparan. Tidak ada peneliti yang dapat mengecek kebenaran data agregat tersebut. Survey terpisah untuk menghasilkan statistik pembanding bagi statistik BPS akan membutuhkan biaya sangat besar. Pengulangan survey untuk keperluan konfirmasi kebenaran data BPS merupakan pemborosan.

Cara alternatif untuk mengecek kebenaran statistik BPS adalah dengan menelusuri proses pengolahan data dari sumbernya, yakni data mentah dari kuesioner hasil survey. Sayangnya, BPS tidak memberikan kemudahan akses kepada data hasil survey dari mana data-data agregat tersebut diperoleh. Untuk memperoleh data survey tersebut, kita harus membayar sangat mahal. BPS seakan-akan mengkomersialkan data survey tersebut untuk memperoleh pemasukan.

Pengenaan harga tinggi terhadap data survey tersebut tidak memiliki alasan yang masuk akal. Penerimaan dari penjualan data survey tidak sebanding dengan biaya survey dan tidak secara signifikan berkontribusi pada penerimaan negara. Justru, akses dan jual-beli tidak resmi atas data survey muncul karena harga tinggi tersebut tidak sebanding dengan kemampuan data untuk diproteksi.

BPS sebaiknya mencontoh RAND institute yang menyediakan data Survey Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) secara cuma-cuma. Dengan digratiskan, banyak peneliti yang dapat mengecek dan mereproduksi statistik yang dikeluarkan BPS sehingga dapat mendukung kebenarannya.

Manfaat Penggratisan Data Survey
Penyediaan data survey secara gratis tidak hanya meningkatkan kredibilitas BPS, melainkan juga akan memajukan kualitas penelitian dan analisis ekonomi. Penggunaan data survey mengatasi banyak persoalan yang biasa ditemui dalam analisis terhadap data agregat. Peneliti akan memperoleh informasi dan pilihan variabel yang lebih banyak.
Hasil penelitian ekonomi yang meningkat kualitasnya akan memberikan masukan-masukan yang penting bagi evaluasi dan perumusan kebijakan ekonomi. Kebijakan pemerintah dapat menjadi lebih efektif dan tepat sasaran. Kemungkinan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang keliru akan mengecil. Pemborosan anggaran negara dan kerugian masyarakat akibat kebijakan yang keliru dapat semakin dihindari. Secara keseluruhan, kesejahteraan masyarakat akan meningkat karena peningkatan kualitas penelitian ekonomi ini.

Potensi manfaat peningkatan kemudahan akses pada data survey BPS jelas jauh lebih besar daripada penerimaan hasil penjualan data yang akan hilang. Dampak neto dari perubahan aturan ini adalah kesejahteraan masyarakat akan lebih baik daripada sebelumnya

Thursday, April 10, 2008

Selamatkan Aset Rakyat Miskin dengan Meregulasi Lembaga Keuangan Mikro

Krisis finansial kembali membawa ekonomi dunia pada resesi. Krisis ini menguatkan rekomendasi anti-liberal untuk memperketat regulasi pada pasar uang dan perbankan. Walaupun pasar uang lebih banyak melibatkan uang milik masyarakat lapis menengah ke atas, krisis di pasar uang dapat berimbas pada masyarakat menengah ke bawah melalui pengaruhnya pada investasi riil dan konsumsi yang berujung pada penyempitan lapangan kerja.

Akan tetapi, kita seharusnya lebih (paling tidak sama) peduli terhadap bencana finansial yang menimpa masyarakat miskin. Dengan minimnya pendidikan dan informasi, masyarakat miskin sering menjadi korban penipuan dan kesalah-pengelolaan lembaga keuangan mikro (LKM). Di sisi lain, pengawasan dan pengaturan terhadap LKM sangat minim, dibandingkan dengan terhadap perbankan dan pasar uang. Departemen Koperasi yang seharusnya mengemban fungsi tersebut minim kemampuan dan minat untuk menjalankannya.

Bank Indonesia lebih memiliki kapasitas untuk menjalankan fungsi tersebut. Namun, hingga saat ini undang-undang tidak memberi BI tanggung jawab untuk menjalankannya.

Hasilnya, berita hilangnya uang nasabah akibat dilarikan oleh pemilik/pengelola atau karena kecerobohan pengelolaan sering kita dapati di media. Walaupun berstatus LKM, institusi yang bermasalah tersebut seringkali telah melibatkan dana nasabah milyaran rupiah.

Sebagaimana yang berlaku di sektor perbankan, permasalahan di satu LKM juga menimbulkan eksternalitas negatif ke LKM lainnya. Masyarakat menjadi tidak mempercayai keamanan LKM. LKM semakin kesulitan untuk memperoleh dana simpanan. Dampak selanjutnya, usaha kecil dan mikro (UKM) sulit memperoleh dana untuk pengembangan usaha mereka. Padahal, peran UKM dalam menyerap tenaga kerja jauh lebih besar daripada perusahaan besar yang mendapatkan dana dari perbankan dan pasar uang.

Simpanan nasabah LKM lebih mendesak untuk diselamatkan daripada simpanan nasabah perbankan. Karena itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) semestinya juga memberikan jaminan bagi simpanan masyarakat di LKM.

Wednesday, April 9, 2008

Minyak untuk Pangan

Sebagaimana dalam postingan saya di Komentar Ekonomi berjudul Urgensi Kenaikan Harga BBM, subsidi BBM harus segera dikurangi, baik dengan cara kenaikan harga atau pembatasan subsidi. Saya lebih menekankan pada ke mana dana subsidi tersebut dialihkan. Pengalihan dana subsidi untuk membangun infrastruktur baru memberikan hasil pada jangka panjang. Masyarakat akan merasa worse-off dalam jangka pendek sehingga cenderung menolak kebijakan pengurangan subsidi tersebut.

Pengalihan subsidi harus memenuhi beberapa kriteria:
1. Manfaat dirasakan segera
2. Penerima manfaat terutama adalah masyarakat yang paling sensitif terkena dampak kenaikan BBM
3. Mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang

Gagasan Chatib Basri untuk mengalihkan subsidi BBM ke subsidi pangan adalah sangat brilian. Namun sekedar mengalihkan pada subsidi pangan tidak mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Tanpa perbaikan sisi penawaran, subsidi pangan hanya mendorong permintaan dan akan kembali membawa anggaran negara pada perangkap subsidi, hanya saja kali ini pada subidi pangan bukan subsidi BBM.

Gagasan tersebut telah menembak sasaran yang tepat, yakni komoditas pangan. Subsidi pangan bersifat regresif secara absolut maupun relatif terhadap pendapatannya. Rakyat miskin akan mendapatkan subsidi terbesar karena mereka mengkonsumsi jenis komoditas kualitas rendah yang menjadi target subsidi. Belanja makanan juga merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rakyat miskin. Semakin kaya seseorang, porsi pangan terhadap pendapatan menjadi semakin kecil. Kualitas jenis makanannya pun akan membaik, sehingga lebih sedikit mengkonsumsi jenis makanan yang disubsidi.

Pemerintah tinggal memodifikasi agar subsidi tersebut juga mendorong pertumbuhan produksi pangan domestik. Marjin laba sektor pangan merupakan insentif utama untuk meningkatkan produksi. Dalam jangka pendek, subsidi dapat menjembatani kepentingan konsumen untuk mendapat pangan murah dengan kepentingan produsen untuk memperoleh marjin laba cukup.

Dalam jangka panjang, pembangunan sektor pangan harus mampu menurunkan ongkos produksi pangan dan mengurangi rente yang saat ini dinikmati oleh pelaku saluran distribusi. Dengan demikian, harga pangan akan tetap murah tanpa mengurangi marjin laba yang dinikmati produsen.

Kebijakan ini melibatkan redistribusi yang cukup signifikan. Sebagaimana analisis Khudori, saat ini penyalur pangan menikmati surplus terbesar dengan diimbangi kerugian pada konsumen dan produsen. Surplus ini perlu diredistribusi dari penyalur ke produsen dan konsumen. Redistribusi ini dapat berbentuk regulasi harga, pembenahan struktur pasar, serta penguatan daya tawar produsen dan konsumen.

Untuk mengurangi biaya produksi, pemerintah perlu membantu petani untuk meningkatkan skala produksi. Rasio lahan per pekerja sektor pertanian dapat ditingkatkan dengan membuka lahan baru dan memberikannya pada petani gurem. Untuk pulau Jawa, pemerintah tidak akan dapat mencegah laju konversi lahan pertanian menjadi pemukiman karena populasi memang terpusat di pulau Jawa dan terus tumbuh cepat. Lahan baru hanya dapat dibuka di pulau-pulau luar Jawa. Pemerintah dan para ahli perlu bekerja sama untuk mengkaji potensi ekonomi dan biaya ekologis dari kebijakan tersebut.

Pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan mendesak dilakukan. Para ahli pertanian perlu menemukan solusi atas penyediaan pangan dan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Penelitian terkini menunjukkan bahwa pengembangan biofuel justru dapat berdampak neto lebih buruk pada pelepasan karbon. Walaupun emisi karbon dari biofuel lebih rendah, konversi hutan ke ladang tanaman bahan baku biofuel telah mengurangi penyerapan karbondioksida.

Sebagian subsidi BBM dapat dialihkan untuk mendorong pengembangan teknologi pertanian ini. Kalau peneliti dari Indonesia tidak mampu menghasilkan temuan yang diperlukan, pemerintah dapat menggaji peneliti asing atau membeli paten dari luar negeri.

Selain untuk pangan, subsidi BBM dapat pula dialihkan untuk memperluas akses rakyat miskin pada pendidikan dan kesehatan. Untuk sektor pendidikan, subsidi sebaiknya ditargetkan kepada individu bukan institusi sekolah. Hingga saat ini sekolah yang telah mendapat subsidi dari pemerintah tetap tidak menghentikan pungutan biaya pada siswa. Kalaupun subsidi diberikan pada sekolah, harus ada larangan tegas (berkonsekuensi sanksi bagi pelanggar) bagi sekolah tersebut untuk memungut biaya tambahan dari siswa.

Di sektor kesehatan, Askeskin sangat membutuhkan dana tambahan untuk membayar klaim rumah sakit. Tunggakan Depkes pada rumah-rumah sakit telah sangat besar sehingga banyak rumah sakit tidak mau menerima pasien Askeskin. Kucuran dana pengalihan subsidi BBM ke Askeskin akan menyelamatkan banyak nyawa. Kesehatan merupakan investasi SDM untuk menjaga kualitas tenaga kerja. Untuk jangka panjang, kita perlu memikirkan rancangan kelembagaan sektor kesehatan agar mampu memberikan layanan berkualitas dengan biaya terjangkau.

Wednesday, March 12, 2008

Metode Pembayaran Tetap pada Layanan Kesehatan

Artikel ini menindaklanjuti permasalahan yang diungkap artikel pada blog Komentar Ekonomi berjudul "Moral Hazard Layanan Kesehatan". Artikel ini berisi gagasan mengenai penerapan metode pembayaran tetap untuk layanan kesehatan.

Tindakan dokter yang secara sosial optimum adalah memberikan perawatan yang mendatangkan kesembuhan dengan biaya minimum. Untuk mendorong dokter melakukan tindakan tersebut, mekanisme pembayaran harus membuat proses optimalisasi utilitas dokter adalah minimisasi biaya, bukan maksimumkan pendapatan. Namun biaya tersebut juga harus berkaitan dengan sakitnya pasien. Semakin lama pasien sakit, semakin besar pula biaya yang ditanggung dokter.

Pasien sendiri juga harus menghadapi biaya yang semakin meningkat ketika sakit semakin lama. Jika biaya (nominal) marjinal dari sakit yang semakin lama adalah nol, maka pasien sendiri kurang memiliki insentif untuk mempercepat kesembuhannya. Namun demikian, biaya nominal marjinal bagi pasien ini kurang diperlukan daripada bagi dokter karena pasien telah menghadapi disinsentif berupa sakit itu sendiri.

Salah satu contoh sistem insentif yang memenuhi prinsip-prinsip di atas adalah berikut. Dokter (dan rumah sakit) mendapatkan bayaran tetap untuk tiap jenis penyakit yang disembuhkan, berapapun banyaknya waktu perawatan dan obat yang diperlukan. Mereka hanya mendapatkan bayaran setelah kesembuhan.

Jika mereka tidak sanggup menyembuhkan sendiri, mereka bisa transfer ke dokter atau rumah sakit lain dengan menegosiasikan sendiri berapa bagian pembayaran yang menjadi milik pentransfer dan penerima transfer.

Semua rumah sakit atau klinik memasang tarif per penyakit yang saling bersaing. Pasien dapat memilih rumah sakit/klinik yang memberikan kombinasi layanan dan harga yang sesuai dengan preferensinya.

Bagaimana cara mewujudkan gagasan di atas? Apakah perlu regulasi dari pemerintah atau cukup inisiatif swasta?

Ketika ada pihak swasta yang membuat klinik dengan sistem pembayaran tetap di atas, mereka akan bertahan jika terdapat cukup konsumen layanan kesehatan yang memilih klinik dengan metode pembayaran tersebut dibanding dengan metode konvensional. Rumah sakit dan klinik lain akan merubah metode pembayaran mereka dengan metode baru tersebut jika sebagian besar konsumen lebih menyukai metode baru tersebut.

Metode pembayaran tetap akan menarik bagi penderita penyakit yang sudah parah, karena ongkos rata-rata per perawatan di metode ini akan lebih murah dari di metode pembayaran konvensional. Sebaliknya, metode pembayaran tetap akan relatif mahal bagi pasien yang belum terlalu parah. Untuk mencegah adverse selection, tarif tiap penyakit sebaiknya dibedakan menurut stadium/ tingkat keparahannya.

Klinik dengan metode pembayaran tetap dapat memperkirakan tarif tiap penyakit dengan terlebih dulu memperkirakan rata-rata tingkat perawatan yang diperlukan oleh tiap jenis penyakit pada masing-masing stadium dan biaya per tingkat perawatan tersebut. Harga akhir juga harus mempertimbangkan harga pasar layanan ini, dengan mengalikan rata-rata tingkat perawatan per penyakit yang berlaku (mencakup efek dari moral hazard) kepada harga pasar per tingkat perawatan.

Rata-rata jumlah pembayaran pada metode baru akan kurang dari rata-rata jumlah pembayaran pada metode konvensional karena metode baru telah mengeliminasi efek moral hazard. Dihadapkan pada ketidakpastian pembayaran pada klinik metode konvensional, dengan kecenderungan lebih besar untuk jumlah pembayaran yang lebih tinggi daripada metode baru, pasien akan memilih klinik dengan metode pembayaran tetap.

Dengan demikian, klinik yang menerapkan metode pembayaran tetap akan memenangi persaingan. Klinik lain akan terdorong untuk mengganti metode pembayarannya ke sistem tetap atau memodifikasi pembayaran variabel-nya agar tidak lagi membawa pada moral hazard. Modifikasi itu sendiri tidak akan berjalan tanpa tekanan eksternal seperti regulasi dan persaingan dari metode pembayaran tetap.

Saya mengajak pembaca untuk membuat klinik dengan metode pembayaran tetap seperti di atas. Paling tidak, kita bisa menemukan orang lain yang memiliki kemampuan untuk membuat klinik tersebut.

Sunday, March 2, 2008

Subsidi BBM atau Subsidi Lain?

Selama ini kita terjebak pada debat kusir kenaikan harga BBM. Sayap kiri akan langsung menuduh pemerintah tidak berpihak pada rakyat kecil jika menaikkan harga BBM. Kalangan ini melihat bahwa kebijakan subsidi BBM adalah kebijakan pro rakyat kecil. Pengurangan subsidi BBM merupakan kebijakan yang merugikan rakyat kecil.

Saya melihat bahwa yang dipersoalkan bukanlah besarnya subsidi, melainkan harga domestik BBM. Seandainya harga minyak dunia turun namun pemerintah mempertahankan harga domestik BBM sehingga belanja subsidi BBM turun, saya yakin tidak akan ada penentangan. Sayangnya, harga minyak dunia cenderung terus menaik dengan semakin habisnya cadangan minyak dunia dan meningkatnya permintaan karena pertumbuhan ekonomi dunia.

Sebaiknya kita mulai dari pertanyaan dasar, mengapa perlu ada subsidi BBM? Atau sebaliknya kita dapat juga menanyakan, mengapa subsidi BBM perlu dikurangi?

Tiap penyusunan anggaran, pemerintah memperkirakan berapa besarnya pendapatan yang mampu mereka peroleh. Setelah itu, pemerintah merencanakan pengeluaran berdasarkan prioritas dan kebutuhan.

Belanja rutin biasanya perlu dialokasikan terlebih dulu, karena bersifat mempertahankan operasi yang telah berjalan. Langkah penghematan masih dapat dilakukan, tetapi tidak dapat sekaligus dalam jumlah besar.

Termasuk dalam belanja rutin ini adalah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang. Alokasi utang ini hanya dapat dipangkas jika sebelumnya pemerintah dapat membuat kesepakatan dengan kreditur untuk menunda pembayaran atau mendapatkan keringanan.

Tinggallah sisa anggaran yang dapat digunakan untuk berbagai macam program. Pada prioritas ke berapa subsidi BBM sebaiknya diletakkan? Mana yang lebih prioritas, subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi pangan, subsidi kesehatan?

Pertanyaan pilihan prioritas di atas tidak dapat dihindari dengan mengatakan bahwa semua harus dilakukan oleh pemerintah; bahwa pemerintah harus mengusahakan uang negara yang dikorupsi kembali; bahwa pemerintah harus bisa menarik pajak dari orang-orang kaya hingga cukup untuk membiayai semua subsidi tersebut; dll.

Kalaupun pada akhirnya pemerintah bisa melakukan semua hal di atas, keputusan prioritas terhadap berbagai alternatif subsidi tersebut tetap harus diambil hari ini, tidak bisa menunggu semua yang tercantum dalam "daftar yang harus dilakukan pemerintah" itu selesai dikerjakan. Saat ini juga, pemerintah harus memutuskan berapa uang yang akan diberikan kepada Pertamina untuk subsidi minyak, kepada Bulog untuk subsidi pangan, dan kepada Depdiknas untuk subsidi pendidikan.

Kebijakan subsidi minyak dan pangan memiliki efek lebih besar terhadap inflasi. BBM merupakan input di hampir semua proses produksi. Karena itu, kenaikan harga BBM akan diikuti oleh harga berbagai macam barang dan jasa pada tingkat yang bergantung pada porsi BBM dalam struktur biaya produksi mereka.

Bahan pangan juga banyak menjadi input produksi, namun tidak seluas minyak. Walau demikian, kenaikan bahan pangan mendorong pekerja untuk meminta kenaikan upah. Peran yang lebih besar dari bahan pangan terdapat pada konsumsi rumah tangga berpendapatan rendah. Kenaikan harga bahan pangan menyebabkan semakin banyak rumah tangga jatuh dalam kemiskinan.

Perubahan harga pendidikan tidak mendorong kenaikan harga barang dan jasa lain. Namun pendidikan menentukan kondisi ekonomi anggota rumah tangga di masa depan. Mobilitas ekonomi rumah tangga tergantung dari investasi pendidikan ini.

Pengeluaran rumah tangga untuk BBM non minyak tanah lebih kecil daripada pengeluarannya untuk makanan. Karena itu, efek kenaikan harga BBM lebih banyak secara tidak langsung melalui kenaikan harga kebutuhan. Efek kenaikan harga BBM yang tidak langsung dan tidak adanya dampak positif jangka panjang subsidi BBM pada kesejahteraan membuat subsidi BBM layak menjadi prioritas terakhir.

Berdasar analisis di atas, saya merekomendasikan agar pemerintah tidak perlu ragu mengalihkan porsi anggaran dari subsidi BBM ke subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan. Jika keberatan dari pengalihan subsidi semacam ini adalah pada kelemahan identifikasi warga yang berhak menerima, maka subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan bisa berbentuk subsidi harga pada jenis pangan, pendidikan, dan kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar.

Thursday, February 28, 2008

Isu Ekonomi Terpanas untuk Pemilu 2009

Saya baru saja mencari lewat google daftar partai politik pemilu 2009. Saya ingin tahu program-program ekonomi partai tersebut. Apakah mereka telah memiliki tawaran kebijakan yang lebih baik daripada rezim sekarang? Jika tidak, lebih baik SBY dan tim ekonominya sekarang dipilih lagi.

Melihat pengalaman pemilu lalu, saya pesimis pemilu 2009 yang sudah menjelang akan diwarnai kompetisi ide kebijakan ekonomi. Para politisi tahu bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak mempedulikan apakah parpol menawarkan perubahan kebijakan yang menguntungkan mereka dan juga realistis. Rakyat lebih peduli figur yang diusung parpol.

Anyway, saya masih memiliki harapan akan adanya pendewasaan cara berpolitik. Untuk itu, saya menawarkan pada semua partai untuk saling berkompetisi memberikan solusi pada isu-isu ekonomi terpanas berikut.

1. Stabilisasi harga pangan
Saya lebih memilih stabilisasi harga pangan daripada kemandirian pangan, walau keduanya berkorelasi pada waktu-waktu tertentu. Fluktuasi harga pangan paling memukul rakyat berpendapatan rendah. Kenaikan harga pangan selalu menciptakan jutaan orang miskin baru,

2. Kebijakan harga BBM
Buah simalakama antara kenaikan harga BBM dan melambungnya pengeluaran negara untuk subsidi BBM senantiasa muncul tiap terjadi kenaikan harga minyak internasional. Selama ini, pemerintah terkesan tidak konsisten dalam mengambil pilihan, tidak pula memiliki strategi untuk menghindari buah simalakama tersebut. Saya harap ada tawaran solusi yang prospektif pada isu ini dari partai-partai.

3. Energi alternatif
Statistik lifting minyak mentah Indonesia menunjukkan penurunan. Walaupun nantinya ada penemuan dan eksploitasi cadangan minyak baru, belum tentu mampu memenuhi kenaikan permintaan domestik. Kebutuhan energi alternatif juga didorong oleh isu pemanasan global. Sebagian ahli masih menyangsikan dampak neto biofuel pada pengurangan emisi karbon.

4. Krisis listrik
Defisit listrik telah menjadi kenyataan, dan akan semakin parah. Pemakaian listrik terus tumbuh, sementara pembangunan tiap pembangkit listrik baru membutuhkan waktu lebih dari lima tahun.

5. Infrastruktur
Kondisi infrastruktur kita sekarang lebih jelek daripada masa orde baru. Sejak krisis , pemerintah tidak memiliki cukup anggaran untuk membangun dan memelihara infrastruktur. Pemerintah juga mengalami kesulitan untuk menyelesaikan hambatan "non-teknis" yang dulu kerap diatasi dengan tangan besi oleh orde baru. Pengusaha konstruksi juga ketakutan akan diduga melakukan korupsi karena peraturan dan pengawasan sekarang begitu ketat.

6. Asuransi kesehatan untuk orang miskin (Askeskin)
Askeskin juga mengalami krisis yang parah. Rumah sakit telah hilang kepercayaan pada Askeskin karena tunggakan tagihan tidak kunjung dibayar PT Askes atau pemerintah. Akibatnya, banyak rumah sakit menolak klaim Askeskin. Warga miskin terancam tidak mampu memperoleh layanan kesehatan.

7. Serbuan produk China
Overproduksi China sering dilempar ke Indonesia sehingga menghancurkan produk UKM Indonesia. Penurunan ekspor China ke AS yang sedang mengalami resesi memunculkan ancaman pengalihan ekspor China ke Indonesia. Apakah pembukaan pasar kita pada China memberikan manfaat neto positif? Perlukah kita menerapkan kuota impor pada China? Sekedar tarif sepertinya tidak efektif karena selisih harga produk China dengan domestik terlalu jauh.

8. Penyediaan lapangan kerja
Jutaan pengangguran merupakan efek gabungan dari permasalahan ekonomi. Penantian buah dari investasi asing tidak kunjung berakhir. Perlukah pemerintah memberikan solusi instan seperti proyek padat karya?

Saya kira isu-isu di atas sangat penting untuk diangkat oleh partai politik yang bersaing di pemilu 2009 mendatang. Tentunya bukan sekedar kritik pada kelemahan rezim sekarang di isu tersebut, namun tawaran solusi dari parpol yang kita butuhkan.

Saya sendiri berharap bisa menawarkan gagasan saya pada isu-isu di atas melalui blog ini. Kontribusi pembaca juga saya tunggu.

Friday, January 25, 2008

Sistem Kompensasi PNS

Pangkal dari buruknya kinerja birokrasi Indonesia adalah sistem penilaian dan kompensasi kinerja PNS. Sistem kompensasi tidak memberikan insentif pegawai birokrasi untuk berkinerja sebaik mungkin, karena besarnya kompensasi yang mereka terima tidak berhubungan dengan kinerja mereka.
Kelemahan sistem kompensasi yang sekarang berlaku telah lama dan secara luas disadari, termasuk oleh elit birokrasi di tingkat pusat. Lalu mengapa tidak ada perbaikan? Jawabannya klise, kepentingan.
Sebagian besar pegawai birokrasi termasuk kelompok pegawai yang malas ini. Mereka sangat menikmati sistem kompensasi yang berlaku. Mereka akan sangat kompak menentang perubahan sistem kompensasi menjadi berbasis kinerja.
Para pejabat pusat di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara telah memahami situasi ini. Mereka tidak mengusulkan perubahan sistem kompensasi karena mereka tidak mau jadi musuh banyak orang, dan mungkin mereka sendiri juga menikmati sistem ini.
Kita harap, ada calon Presiden di pilpres 2009 yang berani menawarkan perubahan sistem kompensasi ini. Kalaupun ada, kita masih juga harus berdoa agar ia berani merealisasikan janjinya.

Kendali Bahan Pokok

Tiap kali terjadi kenaikan drastis harga pangan, kita senantiasa menyaksikan tragedi masyarakat miskin menurunkan kualitas menu makan harian: dari nasi ke nasi aking atau ubi, dari tempe ke tempe gembus. Tulisan ini menawarkan (kembali) gagasan untuk mengendalikan bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat untuk mencegah penurunan kualitas generasi mendatang Indonesia.

Masyarakat miskin tidak punya tabungan yang dapat mempertahankan tingkat konsumsi mereka ketika terjadi kejutan-kejutan ekonomi. Pada kasus nasi aking, sepertinya mereka yang beralih ke nasi aking adalah masyarakat miskin yang tidak tersentuh oleh program raskin. Kemungkinan kedua, pemerintah terlambat dalam menginstruksikan BULOG untuk mendistribusikan raskin tersebut. Jadi, letak kesalahannya adalah pada pengelolaan program raskin.

Sedangkan pada kasus kedelai, BULOG tidak lagi bertugas menangani komoditas ini sejak tahun 1997. Pasokan kedelai yang banyak diimpor dari Amerika Serikat sangat tergantung kepada harga internasional. Dengan tidak adanya kendali harga maupun subsidi atas kedelai, harga dalam negeri sepenuhnya mengikuti harga internasional.

Apakah komoditas kedelai perlu dikelola lagi oleh BULOG? Jawaban atas pertanyaan ini butuh analisis panjang. Solusi first best tentu saja jika mekanisme pasar berjalan baik dengan memberikan cukup insentif berproduksi pada petani tanpa memberatkan konsumen. Saya percaya bahwa harga kedelai yang tinggi ini akan menjadi insentif bagi petani untuk kembali menanam kedelai. Namun selama proses penyesuaian ini, konsumen miskin akan mengalami penurunan kualitas gizi.

Saya kira, komoditas bahan pokok tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar sepenuhnya. Kecukupan stok bahan pokok diperlukan oleh seluruh masyarakat. Konsumen miskin harus tetap mampu mendapatkan bahan pokok tersebut untuk bertahan hidup dan menjaga kualitas kesehatan anak-anak mereka. Jaminan laba berusaha diperlukan petani agar mereka tetap mau menanam komoditas bahan pokok tersebut.

Fungsi Bulog kurang lebih sama pentingnya dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia mengendalikan harga dengan mengatur suplai uang yang berujung pada sisi permintaan agregat. Sedangkan Bulog secara langsung mengatur sisi penawaran dan spesifik pada suplai bahan pokok.

Wednesday, January 16, 2008

Pekerjaan Transisi

Tiap orang butuh penghidupan yang layak. Untuk mendapatkan penghidupan, ia harus menukarkan karya yang nilainya paling tidak sama. Tidak seorang pun berhak atas penghidupan tanpa bekerja, kecuali ia belum mampu mandiri mendapatkannya, seperti anak-anak.
Mekanisme pasar gagal menyediakan jumlah pekerjaan dan atau penghidupan yang cukup. Pemikiran klasik berpendapat bahwa pekerjaan akan tersedia bagi semua orang jika upah dibiarkan terus turun selama masih ada orang menganggur yang mau dibayar lebih rendah. Masalahnya, upah yang mencapai kesempatan kerja penuh ini mungkin jauh dari mencukupi kebutuhan hidup minimum. Sebaliknya, jika upah dijaga agar tetap di atas kebutuhan hidup minimum, kesempatan kerja akan berkurang dan pengangguran pun tercipta.
Intervensi pemerintah dalam menyerap tenaga kerja juga menimbulkan beberapa masalah tersendiri. Jika pekerja pada program pemerintah mendapatkan upah yang mencukupi kebutuhan sehingga lebih tinggi daripada upah di sektor informal, pekerja dari sektor informal akan ikut melamar ke pekerjaan tersebut. Pekerja yang berpindah ini lebih berpengalaman daripada penganggur sehingga mereka cenderung memenangkan persaingan pada lapangan kerja baru. Penganggur mungkin akan mengisi lowongan kerja yang ditinggalkan oleh pekerja yang berpindah. Pengurangan surplus tenaga kerja akan mendorong kenaikan upah rata-rata.
Dampak dari upah tinggi adalah daya saing rendah. Namun, daya saing juga tidak bermakna jika hasilnya adalah pekerja tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Daya saing seharusnya diupayakan tidak hanya dengan menurunkan biaya, tapi juga dengan perbaikan kualitas.

Kualitas Pekerja
Sebagaimana barang, tenaga kerja dilihat tidak hanya dari harga, melainkan juga dari kemampuan dan produktivitasnya. Perusahaan tidak akan keberatan untuk memberikan upah tinggi kepada tenaga kerja yang memiliki kemampuan dan produktivitas tinggi. Karenanya, jika pemerintah ingin menjamin kesejahteraan pekerja, pemerintah harus juga meningkatkan kemampuan dan produktivitas mereka.
Ketika produktivitas pekerja sudah tinggi, upah tinggi tidak lagi menjadi hambatan bagi perusahaan. Jika perusahaan masih juga belum mau masuk, dapat dipastikan ada faktor lain yang menghambat mereka. Faktor-faktor seperti kelangkaan infrastruktur, kelemahan penegakan hukum, dan pungutan liar sering menjadi penghambat investasi di Indonesia. Peniadaan faktor-faktor penghambat tersebut menjadi pembahasan di usulan terpisah.

Pekerjaan Transisi
Pemerintah sebaiknya menyelenggarakan pekerjaan transisi bagi para penganggur. Pekerjaan Transisi hanya bertujuan memberikan penghidupan sementara hingga penganggur tersebut memperoleh pekerjaan tetap. Pekerjaan ini juga memberikan pengalaman dan kemampuan yang banyak diminta oleh employer. Perubahan struktur ekonomi juga difasilitasi oleh pekerjaan transisi ini dengan memberikan ketrampilan yang dibutuhkan oleh sektor baru yang sedang tumbuh.
Penyerapan kerja oleh pemerintah tidak berdampak kontraproduktif jika nilai upah sebanding dengan beban kerja. Selain itu, masa bekerja di program tersebut perlu dibatasi agar pekerja tidak berhenti dari mencari kerja di sektor swasta.
Pekerja transisi ini harus diberikan jenis pekerjaan yang sesuai agar mempertajam keahliannya. Dengan pengalaman kerja transisi yang relevan, pekerja akan mudah memperoleh pekerjaan tetap. Pengawas di program publik dapat memberikan rekomendasi terkait kinerja pekerja untuk digunakan melamar pekerjaan swasta.
Biaya yang dibutuhkan untuk program Pekerjaan Transisi ini cukup besar. Jumlah pengangguran saat ini diperkirakan sekitar 10 juta orang. Jika masing-masing dibayar sesuai dengan tingkat pendidikan dan kinerjanya, rata-rata tertimbang upah yang dibayarkan per orang adalah 1 juta per orang per bulan. Anggaran setahun yang diperlukan adalah sebesar 120 trilyun.
Negara tidak memiliki cukup anggaran untuk membiayai perekrutan seluruh penganggur seperti di atas. Karena itu, penyerapan penganggur harus dilakukan secara bertahap. Jika pemerintah ingin menyerap 20 persen dulu dari pengangguran, program Pekerjaan Transisi ini akan butuh anggaran sebesar 24 trilyun setahun.
Sejalan dengan program ini, sektor swasta juga didorong agar tingkat penyerapan oleh swasta juga dapat melebihi tingkat pertumbuhan angkatan kerja. Jika pertumbuhan lapangan kerja oleh swasta telah mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja, penyerapan kerja oleh sektor publik tidak lagi diperlukan.
Agar tidak menimbulkan efek penyesakan (crowding effect), output dari program ini harus merupakan jenis output yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Program yang memenuhi syarat ini adalah pembangunan infrastuktur fisik dan nonfisik (jalan, jembatan, sistem informasi), perbaikan lingkungan (penghijauan, kebersihan), relawan bencana, pengumpulan dan diseminasi informasi (survey untuk keperluan statistik, penyuluhan kesehatan), audit investigasi kewajiban pajak, pemberantasan pungutan liar, dan pemberantasan korupsi.
Metode penilaian kebutuhan dan pengalokasian ke masing-masing program dan departemen yang mengkoordinir mirip dengan penetapan formasi CPNS. Pembukaan lowongan untuk pekerjaan ini sebaiknya diberi jarak dari bulan-bulan kelulusan, sehingga para lulusan sempat mencari kerja di sektor swasta. Jika bulan kelulusan adalah Agustus, maka rekrutmen dilakukan pada bulan Januari.
Jatah kontrak pada program ini adalah 12 bulan sepanjang hidup. Seseorang dapat keluar dari program ini kapan saja jika diterima kerja di swasta. Dengan keluar lebih awal, ia masih memiliki sisa jatah bekerja di program ini jika suatu saat ia kembali menganggur.

Pengelolaan Pendidikan

Pendidikan generasi muda merupakan investasi, bagi orang tua maupun negara. Orang tua berinvestasi pada pendidikan anak-anaknya agar mampu memperoleh penghidupan secara mandiri. Orang tua juga butuh anaknya ketika di masa tua mereka tidak lagi mampu menghidupi dan mengurus diri-sendiri.
Pendidikan generasi muda juga merupakan investasi bagi negara. Kebanyakan orang menilai pengeluaran negara untuk pendidikan merupakan pengeluaran konsumtif. Padahal, pendidikan akan meningkatkan pendapatan warga negara ketika memasuki lapangan kerja. Pengeluaran pendidikan saat ini akan mendatangkan penerimaan pajak yang lebih tinggi di masa mendatang.
Untuk mencegah kemiskinan baru di masa depan, setiap anak usia sekolah seharus memperoleh pendidikan yang berkualitas hingga level di mana mereka mampu memperoleh penghidupan yang layak.
Permintaan atas jasa pendidikan bersifat inelastis dari sisi kuantitas, namun elastis dari sisi kualitas. Jika harga jasa pendidikan meningkat, orang tua tetap menyekolahkan anaknya hingga level yang diinginkan, namun akan mencari sekolah yang lebih murah walau kualitas lebih rendah.

Pembiayaan Negara dan Swasta
Tiap sekolah baik negeri maupun swasta diberikan dua pilihan, dibiayai negara atau biaya sendiri. Inisiatif swasta diperlukan untuk mempercepat perluasan cakupan sekolah. Tetapi, negara hanya membiayai sekolah yang memenuhi syarat jumlah minimum siswa.
Pemerintah melarang sekolah yang dibiayai negara memungut biaya lagi dari siswa. Masing-masing sekolah mendapatkan jatah pembiayaan per siswa yang terdaftar di sekolah mereka. Dengan demikian, tiap sekolah berfokus pada memperbaiki kualitas untuk menarik calon siswa mendaftar ke mereka. Sekolah masih boleh mencari sumber dana yang tidak memberatkan siswa, seperti donasi yayasan dan perusahaan.
Sekolah yang menggunakan biaya sendiri dibebaskan untuk menetapkan harga pendidikan dan menggunakan sumber dana lainnya. Sekolah swasta ini boleh mencari keuntungan. Orang tua yang menyekolahkan anaknya di sini adalah mereka yang ingin memberikan kualitas pendidikan lebih tinggi dan mampu menanggung biaya sekolah tersebut.

Anggaran Pendidikan
Peningkatan anggaran pendidikan perlu untuk membiayai perluasan cakupan pendidikan dan perbaikan kualitas ini. Namun, peningkatan ini harus dilakukan seiring dengan kemampuan penyerapan oleh departemen pendidikan. Saat ini, departemen pendidikan terkesan tidak siap untuk menyerap anggaran mereka yang tiba-tiba meningkat berkali lipat.
Penetapan alokasi anggaran pendidikan minimum 20 persen dari keseluruhan anggaran tidak diperlukan. Lebih baik, undang-undang menetapkan outcome yang harus dicapai, seperti tingkat dropout, rata-rata prestasi siswa, dan partisipasi pendidikan pada tiap level.

Perangkat
Desain kurikulum pendidikan juga harus diorientasikan untuk siap kerja. Yang dimaksud siap kerja bukan sekedar siap menjadi pekerja, namun mencakup pula kesiapan untuk berwirausaha. Sejak sekolah dasar, siswa dididik untuk mandiri dengan memproduksi dan menjual barang atau jasa.
Gaji guru harus kompetitif dengan profesi lain agar lulusan terbaik mau menjadi guru. pada saat ini, orang berprofesi sebagai guru bukan lulusan terbaik dari pendidikan. Untuk menjaga kinerja, seorang guru harus senantiasa menghadapi ancaman kompetisi dari orang lain yang ingin menggantikannya. Jika seorang guru berkinerja buruk, ia harus berhenti menjadi guru dan mencari pekerjaan lain yang lebih cocok.

Insentif Bagi Orang Miskin

“Berikan kail, jangan beri ikannya” merupakan kaidah klasik dalam menolong seseorang agar tidak menimbulkan ketergantungan. Pendekatan baru dalam pengentasan kemiskinan tidak hanya memberikan sarana, namun juga memotivasi orang miskin untuk menolong dirinya sendiri.
Bantuan dari luar seringkali membuat orang miskin betah dengan kemiskinannya. Banyak fasilitas hanya bisa didapatkan oleh orang miskin. Orang yang tidak miskin sekalipun ikut mengaku miskin agar mendapatkan fasilitas tersebut. Kelemahan metode dan penyimpangan dalam identifikasi orang miskin sering menjadi penyebab kecemburuan dan konflik sosial.

Insentif
Pemberian shodaqoh kepada segala jenis peminta, termasuk pengemis dan pengamen, merupakan salah satu jenis bantuan yang memberikan insentif yang keliru. Telah banyak diketahui bahwa perolehan para peminta ini dapat melebihi laba pedagang kecil. Jika orang tidak mempertimbangkan moral dan rasa malu, profesi peminta ini jauh lebih menarik karena hasil besar tanpa modal. Insentif ini diduga merupakan salah satu faktor utama pertambahan jumlah peminta.
Desain tiap bantuan harus mempertimbangkan dampak insentif untuk mandiri pada penerima bantuan. Orang miskin kehilangan motivasi untuk mengentaskan diri karena dua faktor. Pertama, keputusasaan dalam berusaha karena senantiasa gagal atau tidak menemukan kesempatan. Kedua, terlena dengan fasilitas dan bantuan yang diberikan pada orang miskin.
Keputusasaan diminimalkan dengan meningkatkan kemampuan orang miskin serta membukakan mereka akses pada kesempatan meningkatkan taraf hidup. Kemampuan orang miskin ditingkatkan dengan memberi modal fisik dan modal manusia. Kesempatan memperbaiki kesejahteraan dibuka dengan mempermudah akses orang miskin ke investasi dan pekerjaan yang memberikan imbal tinggi.
Upaya pemberian kemampuan dan kesempatan pada orang miskin perlu mewarnai kebijakan ekonomi di seluruh sektor. Tata ruang kota harus menyediakan ruang bagi tempat tinggal dan pencaharian penduduk miskin. Pasar modal sebagai jalur cepat kesejahteraan perlu membuka akses pada perusahaan dan pemodal kecil.

Penyalahgunaan
Untuk mencegah moral hazard, bantuan di luar kebutuhan fisik minimum tidak boleh diberikan secara gratis. Orang non miskin tidak mau mengkonsumsi produk kualitas rendah yang sekedar cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum. Bantuan gratis tersebut juga harus tidak dapat diperdagangkan untuk mencegah orang yang tidak membutuhkan ikut mengambil bantuan. Bantuan berkualitas rendah seperti raskin masih mengalami salah sasaran karena membuka peluang keuntungan pada orang yang tidak benar-benar membutuhkannya dengan menjualnya ke pasar.
Tidak boleh ada lagi manipulasi klaim kerusakan aset akibat bencana untuk mendapatkan bantuan. Cara mencegah manipulasi semacam itu adalah dengan mewajibkan pembayaran yang senilai dengan bantuan yang diterima. Bantuan yang wajib dibayar kembali mampu mendorong penerimanya lebih bijak dalam memanfaatkannya.
Pembayaran tersebut dapat berwujud uang, produk, atau tenaga kerja. Pembayaran uang menggunakan mekanisme utang. Perbedaan bantuan ini dengan utang komersial adalah pembebasan dari kewajiban bunga dan jangka waktu pengembalian yang panjang. Utang komersial tidak mungkin memberikan dua fasilitas tersebut, apalagi ke orang miskin yang tidak memiliki agunan.
Pembayaran berwujud produk dapat diberikan oleh penerima bantuan yang berprofesi sebagai produsen. Sebagai misal, seorang petani membayar kembali bantuan yang diterimanya dengan menyerahkan sekian ton hasil pertaniannya, lepas dari harga pasar yang berlaku, kepada pemerintah untuk didistribusikan kembali sebagai bantuan makanan kepada orang miskin.
Penerima bantuan juga dapat membayar dengan tenaga kerja mereka. Penerima bantuan dapat bekerja di program-program pemerintah yang tidak dapat ditangani sendiri oleh aparat pemerintah yang digaji. Jangan sampai aparat memanfaatkan penerima bantuan untuk mengerjakan tugas-tugas mereka, sebagaimana yang terjadi pada kegiatan magang/praktik kerja lapangan dari siswa sekolah ke badan pemerintah.
Kelompok orang yang tidak mampu melakukan aktivitas produktif, seperti anak-anak, orang cacat, dan orang lanjut usia tidak diwajibkan untuk membayar bantuan seperti di atas. Untuk mencegah penyimpangan, bantuan sebaiknya berbentuk barang atau jasa yang tidak dapat dimanfaatkan oleh selain mereka. Sebagai misal, beasiswa pendidikan anak yang langsung dibayarkan ke sekolah menutup kemungkinan penyalahgunaan dana beasiswa oleh orang tua.

Mengapa Ekonomi Baru?

Realitas kinerja yang lambat menandakan perlunya perubahan kebijakan. Tidak ada alasan bahwa kebijakan lama masih menantikan buahnya. Sepuluh tahun adalah masa yang cukup panjang untuk menantikan buah suatu kebijakan. Jika buah itu tidak dapat kita nikmati sampai sekarang, maka kita harus mempertanyakan bibit apa yang selama ini ditanam.

Warisan Kebangkrutan
Paradigma kebijakan ekonomi indonesia pasca reformasi tidak jauh berbeda dari zaman orde baru. Namun prestasi yang dicerminkan oleh indikator-indikator ekonomi pertumbuhan, pengangguran, dan kemiskinan kalah jauh dibandingkan orde baru. Kesenjangan prestasi disebabkan pemerintah sekarang tidak lagi menikmati kesempatan yang ada pada orde baru.
Sebaliknya, pemerintah sekarang mendapatkan getah dari kebijakan ekonomi orde baru. Eksploitasi sumber daya alam pada masa orde baru berlangsung habis-habisan dan hanya menyisakan pekerjaan rumah untuk memperbaiki lingkungan yang telah rusak. Pembangunan masa orde baru yang dibiayai hutang luar negeri kini menyisakan beban cicilan dan bunga hutang yang menghabiskan 40 persen anggaran negara.
Dengan sumber daya yang sangat terbatas, pemerintah kini sulit bergerak. Pemerintah tidak mampu membiayai pembangunan infrastruktur yang penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tidak pula pemerintah dapat menyediakan asuransi sosial bagi warganya.
Resep tim ekonomi sekarang berkutat pada pengendalian inflasi, upaya menarik investasi asing langsung maupun portofolio, privatisasi, liberalisasi penanaman modal, pengendalian kurs secara mengambang, dan pengalihan utang asing menjadi utang domestik. Setiap kebijakan tersebut tentunya telah didukung dengan pertimbangan yang matang.
Namun pertimbangan matang tidak menjamin efektivitas setelah diterapkan. Dan itulah yang terjadi pada perekonomian Indonesia. Perekonomian kita pulih secara lambat dibandingkan negara tetangga, apalagi jika dibandingkan dengan Rusia, China, dan Argentina.

Indonesia perlu resep baru
Realitas kinerja yang lambat menandakan perlunya perubahan kebijakan. Tidak ada alasan bahwa kebijakan lama masih menantikan buahnya. Sepuluh tahun adalah masa yang cukup panjang untuk menantikan buah suatu kebijakan. Jika buah itu tidak dapat kita nikmati sampai sekarang, maka kita harus mempertanyakan bibit apa yang selama ini ditanam.
Hingga kini, belum ada yang mengajukan usulan perubahan kebijakan secara praktis. Kritik seringkali bersifat reaktif terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Belum ada ekonom yang membaca garis kebijakan rezim ekonomi sekarang dan memberikan konsep alternatif yang dapat dioperasionalkan.
Indonesian Forum telah menginisiasi Visi Indonesia 2030 agar rakyat memiliki optimisme dan menyatukan langkah untuk mencapai visi ini. Visi itu menjadi pesaing dari rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) yang ditetapkan melalui mekanisme demokrasi perwakilan.
Gagasan berupa visi dan strategi masih membutuhkan penerjemahan ke dalam bentuk kebijakan yang lebih operasional. Tanpa pengawasan dan evaluasi yang kontinu terhadap perkembangan kebijakan yang berlaku, maka tidak dapat kita mengetahui sejauh mana perjalanan kita dalam mencapai visi tersebut.
Rezim ekonomi sendiri belum tentu sepakat 100 persen dengan visi tersebut. Rezim cenderung memanfaatkan gagasan yang mirip dengan desain mereka sebagai stempel pengesahan atas kebijakan mereka. Sementara pada gagasan yang bertentangan, rezim ekonomi sekedar menganggapnya sebagai wacana.
Gagasan lain seperti ekonomi pasar sosial yang diusung “kaum muda” juga masih berupa sketsa kasar. Akibatnya, banyak pihak yang meragukan keseriusan dari gagasan ini.
Semakin utuh suatu gagasan, semakin mudah ia meyakinkan orang lain. Orang lebih memilih gagasan yang dapat dipraktikkan, walaupun secara teoritis banyak mengandung kelemahan.
Pengertian dapat dipraktikkan adalah gagasan tersebut dapat direalisasikan dengan sumber daya yang tersedia dan gagasan tersebut menawarkan manfaat bagi pihak yang berkuasa sehingga mereka mendukung kebijakan tersebut. Dalam demokrasi mayoritas, suara pemilih juga merupakan kekuasaan, sehingga gagasan dapat pula dipraktikkan jika mampu menggalang dukungan dari mayoritas pemilih.

Ekonomi Baru Indonesia
Dalam rangka mengembangkan gagasan alternatif ekonomi (yang dapat dipraktikkan), Yayasan Alifa melahirkan gerakan Ekonomi Baru Indonesia. Ekonomi Baru Indonesia (EBI) adalah sebuah gerakan terbuka yang bertujuan menghasilkan ide-ide alternatif kebijakan ekonomi. EBI tidak menawarkan satu paket kebijakan yang diklaim sebagai terbaik. EBI membuka diri kepada berbagai ide alternatif. EBI membiarkan ide-ide itu bersaing dalam meyakinkan warga Indonesia bahwa idenya adalah yang terbaik.
EBI hanya mensyaratkan agar ide-ide itu merupakan kebijakan yang siap diterapkan. EBI tidak menerima ide yang masih berupa visi, apalagi sekedar jargon. EBI mendorong para penggagas untuk membumikan ide-idenya. Harapannya, masyarakat dan penguasa akan mempercayai bahwa ide tersebut bukan sekedar impian yang pencetusnya sendiri tidak mampu menerapkannya jika diberi wewenang.
Draf usulan kebijakan yang sudah setengah matang akan dipublikasikan melalui internet sebagai working paper dan dijadikan bahan diskusi. Komentar-komentar yang menanggapi usulan tersebut akan menjadi masukan untuk mematangkan gagasan yang ada, memperbaiki kekeliruan, dan melengkapi kesenjangan argumen.
Draf tersebut akan terus diperbaiki dan dipublikasikan kembali hingga dirasakan telah mencapai bentuk finalnya. Usulan-usulan final akan ditawarkan ke publik, pelaku politik, dan pembuat kebijakan. Usulan-usulan tersebut saling berkompetisi untuk mendapat dukungan dari publik dan pembuat kebijakan. Pada akhirnya, sistem politik dan preferensi pelaku politik akan menentukan usulan mana yang dapat mewujud sebagai kebijakan di pusat atau daerah.