Wednesday, March 12, 2008

Metode Pembayaran Tetap pada Layanan Kesehatan

Artikel ini menindaklanjuti permasalahan yang diungkap artikel pada blog Komentar Ekonomi berjudul "Moral Hazard Layanan Kesehatan". Artikel ini berisi gagasan mengenai penerapan metode pembayaran tetap untuk layanan kesehatan.

Tindakan dokter yang secara sosial optimum adalah memberikan perawatan yang mendatangkan kesembuhan dengan biaya minimum. Untuk mendorong dokter melakukan tindakan tersebut, mekanisme pembayaran harus membuat proses optimalisasi utilitas dokter adalah minimisasi biaya, bukan maksimumkan pendapatan. Namun biaya tersebut juga harus berkaitan dengan sakitnya pasien. Semakin lama pasien sakit, semakin besar pula biaya yang ditanggung dokter.

Pasien sendiri juga harus menghadapi biaya yang semakin meningkat ketika sakit semakin lama. Jika biaya (nominal) marjinal dari sakit yang semakin lama adalah nol, maka pasien sendiri kurang memiliki insentif untuk mempercepat kesembuhannya. Namun demikian, biaya nominal marjinal bagi pasien ini kurang diperlukan daripada bagi dokter karena pasien telah menghadapi disinsentif berupa sakit itu sendiri.

Salah satu contoh sistem insentif yang memenuhi prinsip-prinsip di atas adalah berikut. Dokter (dan rumah sakit) mendapatkan bayaran tetap untuk tiap jenis penyakit yang disembuhkan, berapapun banyaknya waktu perawatan dan obat yang diperlukan. Mereka hanya mendapatkan bayaran setelah kesembuhan.

Jika mereka tidak sanggup menyembuhkan sendiri, mereka bisa transfer ke dokter atau rumah sakit lain dengan menegosiasikan sendiri berapa bagian pembayaran yang menjadi milik pentransfer dan penerima transfer.

Semua rumah sakit atau klinik memasang tarif per penyakit yang saling bersaing. Pasien dapat memilih rumah sakit/klinik yang memberikan kombinasi layanan dan harga yang sesuai dengan preferensinya.

Bagaimana cara mewujudkan gagasan di atas? Apakah perlu regulasi dari pemerintah atau cukup inisiatif swasta?

Ketika ada pihak swasta yang membuat klinik dengan sistem pembayaran tetap di atas, mereka akan bertahan jika terdapat cukup konsumen layanan kesehatan yang memilih klinik dengan metode pembayaran tersebut dibanding dengan metode konvensional. Rumah sakit dan klinik lain akan merubah metode pembayaran mereka dengan metode baru tersebut jika sebagian besar konsumen lebih menyukai metode baru tersebut.

Metode pembayaran tetap akan menarik bagi penderita penyakit yang sudah parah, karena ongkos rata-rata per perawatan di metode ini akan lebih murah dari di metode pembayaran konvensional. Sebaliknya, metode pembayaran tetap akan relatif mahal bagi pasien yang belum terlalu parah. Untuk mencegah adverse selection, tarif tiap penyakit sebaiknya dibedakan menurut stadium/ tingkat keparahannya.

Klinik dengan metode pembayaran tetap dapat memperkirakan tarif tiap penyakit dengan terlebih dulu memperkirakan rata-rata tingkat perawatan yang diperlukan oleh tiap jenis penyakit pada masing-masing stadium dan biaya per tingkat perawatan tersebut. Harga akhir juga harus mempertimbangkan harga pasar layanan ini, dengan mengalikan rata-rata tingkat perawatan per penyakit yang berlaku (mencakup efek dari moral hazard) kepada harga pasar per tingkat perawatan.

Rata-rata jumlah pembayaran pada metode baru akan kurang dari rata-rata jumlah pembayaran pada metode konvensional karena metode baru telah mengeliminasi efek moral hazard. Dihadapkan pada ketidakpastian pembayaran pada klinik metode konvensional, dengan kecenderungan lebih besar untuk jumlah pembayaran yang lebih tinggi daripada metode baru, pasien akan memilih klinik dengan metode pembayaran tetap.

Dengan demikian, klinik yang menerapkan metode pembayaran tetap akan memenangi persaingan. Klinik lain akan terdorong untuk mengganti metode pembayarannya ke sistem tetap atau memodifikasi pembayaran variabel-nya agar tidak lagi membawa pada moral hazard. Modifikasi itu sendiri tidak akan berjalan tanpa tekanan eksternal seperti regulasi dan persaingan dari metode pembayaran tetap.

Saya mengajak pembaca untuk membuat klinik dengan metode pembayaran tetap seperti di atas. Paling tidak, kita bisa menemukan orang lain yang memiliki kemampuan untuk membuat klinik tersebut.

Sunday, March 2, 2008

Subsidi BBM atau Subsidi Lain?

Selama ini kita terjebak pada debat kusir kenaikan harga BBM. Sayap kiri akan langsung menuduh pemerintah tidak berpihak pada rakyat kecil jika menaikkan harga BBM. Kalangan ini melihat bahwa kebijakan subsidi BBM adalah kebijakan pro rakyat kecil. Pengurangan subsidi BBM merupakan kebijakan yang merugikan rakyat kecil.

Saya melihat bahwa yang dipersoalkan bukanlah besarnya subsidi, melainkan harga domestik BBM. Seandainya harga minyak dunia turun namun pemerintah mempertahankan harga domestik BBM sehingga belanja subsidi BBM turun, saya yakin tidak akan ada penentangan. Sayangnya, harga minyak dunia cenderung terus menaik dengan semakin habisnya cadangan minyak dunia dan meningkatnya permintaan karena pertumbuhan ekonomi dunia.

Sebaiknya kita mulai dari pertanyaan dasar, mengapa perlu ada subsidi BBM? Atau sebaliknya kita dapat juga menanyakan, mengapa subsidi BBM perlu dikurangi?

Tiap penyusunan anggaran, pemerintah memperkirakan berapa besarnya pendapatan yang mampu mereka peroleh. Setelah itu, pemerintah merencanakan pengeluaran berdasarkan prioritas dan kebutuhan.

Belanja rutin biasanya perlu dialokasikan terlebih dulu, karena bersifat mempertahankan operasi yang telah berjalan. Langkah penghematan masih dapat dilakukan, tetapi tidak dapat sekaligus dalam jumlah besar.

Termasuk dalam belanja rutin ini adalah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang. Alokasi utang ini hanya dapat dipangkas jika sebelumnya pemerintah dapat membuat kesepakatan dengan kreditur untuk menunda pembayaran atau mendapatkan keringanan.

Tinggallah sisa anggaran yang dapat digunakan untuk berbagai macam program. Pada prioritas ke berapa subsidi BBM sebaiknya diletakkan? Mana yang lebih prioritas, subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi pangan, subsidi kesehatan?

Pertanyaan pilihan prioritas di atas tidak dapat dihindari dengan mengatakan bahwa semua harus dilakukan oleh pemerintah; bahwa pemerintah harus mengusahakan uang negara yang dikorupsi kembali; bahwa pemerintah harus bisa menarik pajak dari orang-orang kaya hingga cukup untuk membiayai semua subsidi tersebut; dll.

Kalaupun pada akhirnya pemerintah bisa melakukan semua hal di atas, keputusan prioritas terhadap berbagai alternatif subsidi tersebut tetap harus diambil hari ini, tidak bisa menunggu semua yang tercantum dalam "daftar yang harus dilakukan pemerintah" itu selesai dikerjakan. Saat ini juga, pemerintah harus memutuskan berapa uang yang akan diberikan kepada Pertamina untuk subsidi minyak, kepada Bulog untuk subsidi pangan, dan kepada Depdiknas untuk subsidi pendidikan.

Kebijakan subsidi minyak dan pangan memiliki efek lebih besar terhadap inflasi. BBM merupakan input di hampir semua proses produksi. Karena itu, kenaikan harga BBM akan diikuti oleh harga berbagai macam barang dan jasa pada tingkat yang bergantung pada porsi BBM dalam struktur biaya produksi mereka.

Bahan pangan juga banyak menjadi input produksi, namun tidak seluas minyak. Walau demikian, kenaikan bahan pangan mendorong pekerja untuk meminta kenaikan upah. Peran yang lebih besar dari bahan pangan terdapat pada konsumsi rumah tangga berpendapatan rendah. Kenaikan harga bahan pangan menyebabkan semakin banyak rumah tangga jatuh dalam kemiskinan.

Perubahan harga pendidikan tidak mendorong kenaikan harga barang dan jasa lain. Namun pendidikan menentukan kondisi ekonomi anggota rumah tangga di masa depan. Mobilitas ekonomi rumah tangga tergantung dari investasi pendidikan ini.

Pengeluaran rumah tangga untuk BBM non minyak tanah lebih kecil daripada pengeluarannya untuk makanan. Karena itu, efek kenaikan harga BBM lebih banyak secara tidak langsung melalui kenaikan harga kebutuhan. Efek kenaikan harga BBM yang tidak langsung dan tidak adanya dampak positif jangka panjang subsidi BBM pada kesejahteraan membuat subsidi BBM layak menjadi prioritas terakhir.

Berdasar analisis di atas, saya merekomendasikan agar pemerintah tidak perlu ragu mengalihkan porsi anggaran dari subsidi BBM ke subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan. Jika keberatan dari pengalihan subsidi semacam ini adalah pada kelemahan identifikasi warga yang berhak menerima, maka subsidi pangan, pendidikan, dan kesehatan bisa berbentuk subsidi harga pada jenis pangan, pendidikan, dan kesehatan yang merupakan kebutuhan dasar.